Monday, 21 April 2008

Tonggak Sejarah Awal Mula Seminari Tinggi St. Paulus

Pengantar

Berdirinya Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Mgr. Paulus Willekens. Perjalanan hidup Mgr. Willekens sudah banyak diketahui. Gagasan visioner dan berani Mgr. Willekens tentang Seminari Tinggi St. Paulus sudah sering diulas. Pentingnya kehadiran imam diosesan sebagai “alat kerasulan” keuskupan sudah berkali-kali disuarakan. Kehadiran Seminari Tinggi St. Paulus dalam konteks besar Sejarah Gereja Katolik di Indonesia sudah muncul setiap kali perayaan HUT diperingatigereja salus.tif.

Paparan berikut akan mencoba mengulas dari sisi lain. Kata ‘hipotetis’ pada judul perlu mendapat catatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipotesis adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pernyataan pendapat meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan. Begitulah memang tulisan ini; ulasan yang belum final. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Sejauh ini, kaitan Seminari Tinggi St. Paulus dengan Mgr. Willekens lebih difokuskan pada keputusan visioner Mgr. Willekens. Dikatakan visioner karena sewaktu Gereja Katolik di Indonesia berada dalam masa kritis, masa-masa pergolakan kemerdekaan 1942-1945, Gereja mampu bertahan antara lain justru berkat keputusan Mgr. Willekens pada tahun 1936. Tulisan ini tidak mau menyanggah, tetapi secara sederhana mau mencoba memperluas pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan tersebut. Namun toh harus dikatakan belum final karena ada beberapa data kunci yang masih harus digali lebih lanjut, antara lain korespondensi antara Mgr. Willekens selaku Vikaris Apostolik Batavia dengan para Superior Yesuit baik yang berada di Indonesia maupun di Belanda.

Paling tidak ada lima hal yang kiranya melatarbelakangi keputusan Mgr. Willekens untuk mendirikan sebuah pendidikan imam diosesan yang kemudian dinamai Seminari Tinggi St. Paulus. Pertama, Surat-surat Apostolik yang pasti sudah didalami oleh Mgr. Willekens bahkan sebelum ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Batavia, yaitu Ad Extremas dan Maximum Illud. Kedua, keputusan mendirikan sebuah institusi pendidikan imam diosesan tentulah memerlukan tersedianya fasilitas dan tenaga pendamping, dan di sini pihak Serikat Jesus pasti turut berperan. Ketiga, jumlah baptisan baru terutama amat menonjol di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang notabene memiliki latar belakang budaya Jawa yang cukup kental. Keempat, jumlah siswa di Seminari Menengah terus meningkat. Kelima, -dan ini yang belum tercakup dalam tulisan ini- korespondensi antara Vikaris Apostolik Batavia dengan Pimpinan Serikat Jesus. Hal ini menjadi lebih penting lagi karena sejak tahun 1940, wilayah DIY-Jawa Tengah dilepaskan dari Vikariat Apostolik Batavia dan menjadi Vikariat Semarang.

Kiblat Baru: Gereja Tanah Misi

Kesadaran bahwa dunia itu lebih luas dari sekedar wilayah Eropa sudah muncul sejak Abad Pertengahan dengan maraknya berbagai macam ekspedisi entah karena tuntutan ekonomi atau sekedar avontur, petualangan. Sekalipun demikian, Gereja Katolik masih cenderung mengukur segala sesuatunya dari kacamata Eropa -Eropasentris- bahkan cenderung memandang yang bukan Eropa secara lebih rendah.

Surat Apostolik Ad Extremas yang ditulis oleh Paus Leo XIII pada tahun 1893, dialamatkan terutama kepada Gereja di India: bahwa Gereja di India sudah dipandang cukup dewasa untuk berdiri menjadi keuskupan-keuskupan baru. Untuk itu, mulai perlu hadirnya imam-imam pribumi; bukan hanya sebagai pembantu para misionaris tetapi harus siap juga untuk mengambil alih peran mereka dan nantinya menjadi pemimpin di wilayah mereka. Penguasaan bahasa lokal sebagai syarat untuk mengenal dan memenangkan hati rakyat kepada Kristus mewarnai Surat Apostolik ini. Gereja baru dapat disebut dewasa kalau juga mampu memenuhi kebutuhan akan tenaga-tenaga gerejani lokal. Adanya imam-imam lokal, oleh Paus Leo, dipandang sebagai suatu situasi yang ideal.

Maximum Illud yang ditulis oleh Paus Benediktus XV pada tahun 1919, dilatarbelakangi oleh tragedi Perang Dunia I yang antara lain mengakibatkan kekacauan di Eropa. Sebagai akibatnya, pengiriman tenaga misi menjadi lamban atau bahkan berkurang drastis. Maximum Illud melihat semakin mendesaknya kebutuhan akan imam pribumi dan penguasaan bahasa lokal justru karena adanya situasi politik di beberapa negara yang mulai mengusir orang asing berkaitan dengan gerakan kemerdekaan. Menguasai bahasa lokal dapat menjadi modal untuk diterima, tetapi juga sebagai bentuk kesediaan menerima dan menghormati budaya setempat.

Kedua Surat Apostolik ini pastilah sudah didalami oleh Mgr. Willekens sejak beliau diangkat menjadi visitator di wilayah Asia. Kedua Surat Apostolik tersebut memperlihatkan bahwa Gereja universal mulai menghargai budaya lokal, mulai mendorong penguasaan bahasa setempat, dan pada akhirnya, mendorong untuk mempromosikan lahirnya imam-imam pribumi. Kedua Paus melihat kehadiran imam pribumi sebagai suatu situasi yang ideal karena merekalah yang mengenal budaya dan hati rakyat setempat serta memahami kerinduan mereka. Dan dengan peristiwa Perang Dunia I, Gereja makin melihat bahwa bagaimanapun akan tiba waktunya tanah-tanah misi harus mampu hidup mandiri tanpa kehadiran misionaris. Gereja perlu mengantisipasi situasi tersebut, tetapi lebih dari itu, Gereja sendiri mulai menghargai budaya lokal. Pesan Injil harus diterjemahkan ke dalam situasi konkret Gereja-Gereja baru. Dan di sinilah peran sentral yang harus dimainkan oleh para imam pribumi di dalam mengakarkan pesan-pesan Injil dalam budaya mereka.

Pertumbuhan Umat Katolik di Yogyakarta dan Jawa Tengah

Romo van Lith telah menjadikan Muntilan sebagai pusat pendidikan yang bernafaskan Katolik dan berbasis pada budaya lokal. Tidak lama kemudian, Yogyakarta dengan cepat menjadi pusat kerasulan para misionaris yang meneruskan semangat misionernya. Sekolah-sekolah misi, baik untuk laki-laki maupun perempuan bermunculan, gedung-gedung gereja sebagai bukti munculnya kelompok-kelompok umat hadir di pelbagai tempat. Dan sejak Kotabaru dijadikan tempat pendidikan calon imam Yesuit, laju perkembangan umat tidak hanya semakin banyak tetapi juga semakin meluas. Kolese Santo Ignatius (Kolsani) benar-benar menjadi pusat gerakan misi Katolik.

Sambil menuntut pendidikan di Kolsani, para frater terlibat langsung di dalam melayani permintaan tenaga sebagai pengajar agama. Bagi para frater yang berkebangsaan Belanda, pelayanan tersebut sekaligus untuk mengasah kemampuan bahasa Jawa yang tengah mereka pelajari. Tidak ada tempat yang terlalu jauh untuk tidak didatangi. Di manapun ada undangan untuk mengajar agama, ke sana para frater ini datang bersepeda. Beberapa catatan berikut memperlihatkan sebagian suasana yang terjadi pada periode tersebut.

“Di Yogyakarta Romo van Driessche memberi pelajaran agama kepada sekitar 500 orang Jawa. Dari hari ke hari, jumlah mereka terus bertambah. Jika situasinya terus demikian, diperlukan imam lain untuk membantu pelayanan terhadap orang-orang Jawa ini. Situasi yang sama juga terjadi di kota Surakarta...” (Surat Jos Hoeberechts, Superior Misi, kepada Romo Provinsial di Belanda. Yogyakarta, 22 Desember 1919).

“Pelayanan di paroki makin berat. Tahun in,i ada empat stasi baru dibuka. Pada hari Minggu, tidak jarang saya harus memberi homili sampai lima kali. Devosi kepada Hati Kudus Yesus juga menampakkan antusiasme, terutama pada hari Jumat pertama. Dan pada kesempatan tersebut, saya juga memberi homili...” (Surat Romo A van Hoof kepada Romo Provinsial. Batavia, 10 Februari 1925).

“Karya misi di Jawa Tengah berkembang amat baik. Hanya saja, ada satu hal yang tidak boleh dilalaikan, yakni bahwa sebagian besar dari mereka yang mengikuti pelajaran Agama itu anak-anak muda, anak-anak usia sekolah. Masalahnya adalah bahwa para imam yang menguasai bahasa Jawa masih amat terbatas.” (Surat Romo Schmedding kepada Romo Provinsial. Muntilan, 2 Januari 1923).

Dari surat-surat tersebut, tertangkaplah adanya kegembiraan sekaligus keprihatinan. Kegembiraan itu dapat mudah dimengerti karena begitu banyak orang dari pelbagai lapisan sosial maupun usia dengan amat antusias ingin menjadi Katolik. Dan pada gilirannya, antusiasme itu juga mempengaruhi umat Katolik berkebangsaan Eropa. Mereka pun semakin aktif di dalam hidup menggereja dan berdevosi. Di lain pihak, toh tertangkap adanya suasana keprihatinan. Keprihatinan ini sebenarnya merupakan lagu lama, keprihatinan yang sudah dirasakan oleh Rm. van Lith, yaitu penguasaan bahasa Jawa di kalangan para misionaris. Kiranya, akan menjadi suatu situasi yang ideal bila di tengah pertumbuhan semacam itu hadir imam pribumi, seorang imam yang tidak memiliki kendala bahasa, mentalitas, maupun budaya sehingga dengan tepat dapat mengantar orang-orang yang haus akan warta Injil itu di dalam cara berpikir mereka.

Keprihatinan lain yang tidak boleh diabaikan adalah pendidikan para calon baptis. Gereja Katolik perlu mengantisipasi mereka ini karena sebagian besar dari mereka berada pada usia sekolah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau kehadiran suster-suster Fransiskanes dan bruder-bruder FIC terutama diarahkan untuk menangani bidang pendidikan. Selain di pusat Yogyakarta, sekolah-sekolah misi juga bermunculan sampai jauh di pelosok-pelosok yang bahkan sekolah negeri pun belum hadir.

Tenaga Formator

Kolese Santo Ignatius Kotabaru menjadi pusat gerakan misi Katolik di Yogyakarta. Karena rumah itu, dalam perjalanan waktu, memang menjadi rumah formasi, rumah pendidikan para calon Yesuit. Setelah tahun 1923, Kolsani dibuka sebagai rumah pendidikan awal (novisisiat) dan tidak lama kemudian juga menjadi rumah para frater yang belajar filsafat. Mereka terdiri dari para calon imam Yesuit, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Belanda. Memang telah diputuskan bahwa para Yesuit Belanda yang ingin berkarya di Indonesia, sejak pendidikan awal, sudah harus mulai menjalani masa formatio di Indonesia. Bukan hanya agar mereka mulai mengenal calon-calon rekan kerja mereka tetapi juga agar sejak awal, mereka sudah menguasai bahasa setempat sehingga mampu memahami dengan lebih baik lagi budaya dan mentalitas orang Jawa. Para Yesuit muda inilah yang dengan giat, penuh antusias, dan tidak mengenal lelah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar agama, merintis berdirinya sekolah misi dan Gereja Katolik.

Dengan tenaga yang masih amat terbatas, Kolese Santo Ignatius mulai berkembang sebagai rumah formasi: rumah novisiat, juniorat, dan filsafat. Mulai dikumpulkannya para Yesuit yang berkarya di bidang pembinaan ini, sedikit banyak akan menjadi pembuka jalan bagi kemungkinan dibukanya Seminari Tinggi. Artinya, keputusan Mgr. Willekens untuk memulai sebuah institusi pendidikan imam diosesan bukannya tanpa dasar sama sekali. Paling tidak, sumber daya manusia dengan kurikulum dan strukturnya sudah ada. Kalau Maximum Illud menuntut supaya pendidikan calon imam pribumi tetap memenuhi standard Gerejani, pastilah Mgr. Willekens melihat rumah formasi di Kolsani ini sebagai salah satu pertimbangan. Dengan kata lain, tenaga-tenaga pendamping spiritual maupun akademis yang sudah tersedia itu -sekalipun dalam segala keterbatasannya- akan dapat dimintai bantuannya pula di dalam mendampingi para calon imam diosesan.

Seminari Menengah

Jumlah siswa Seminari Menengah terus mengalami pertumbuhan jumlah. Mereka yang lulus dan tetap ingin menjadi imam tentu saja memilih Kongregasi imam yang mereka kenal, yaitu mereka yang sudah berkarya di Indonesia. Belum ada imam diosesan. Dan sebagai Gereja yang masih tergolong muda, barangkali mereka juga belum dapat membayangkan cara hidup macam apakah imam diossesan itu. Padahal, dari Surat Apostolik Ad Extremas dan Maximum Illud, kehadiran imam yang mengenal betul situasi dan budaya setempat menjadi tuntutan agar Gereja dapat mandiri tetapi juga berakar pada budayanya. Dengan kata lain, diperlukan adanya imam pribumi yang berkarya untuk keuskupan dan menetap di keuskupannya. Dan inilah tanggung jawab uskup. Oleh karena itu, diperlukan seorang uskup yang berani dan mau berinisiatif untuk “memperkenalkan” imam diosesan; uskup yang mau membuka pintu bagi mereka yang tertarik untuk bekerja di keuskupan, sehingga di antara para lulusan Seminari Menengah itu, menjadi imam diosesan pun merupakan salah satu kemungkinan dasn salah satu pilihan.

Pendukung di Balik Layar

Mgr. Willekens pasti tidak mengambil keputusan tanpa tidak melibatkan rekan-rekan misionaris yang semuanya adalah Yesuit. Mereka dilibatkan lewat surat-menyurat, rapat, dsb. Perencanaan teknis-praktis yang lebih mendetail tentu ada dalam pembicaraan ini. Dapat diandaikan bahwa di dalam pembicaraan itu, didiskusikan tentang model pendampingan dan cara hidup yang mau mereka perkenalkan kepada para calon imam diosesan. Hal itu penting mengingat bahwa model hidup dan spiritualitas macam apa yang mau mereka tanamkan akan menjadi sebuah tradisi bagi kehidupan imam diosesan di kemudian hari. Dengan kata lain, tanggung jawab mereka tidaklah ringan karena apapun yang mereka putuskan akan menjadi warna dari imam-imam diosesan di kemudian hari.



Fl. Hasto Rosariyanto, SJ

2 comments:

yuliana said...

Selamat atas adanya blog yang baru ini. Profisiat karena umat bisa mengakses informasi terkait dengan seminari. Sukses selalu

Salam
yosef wijoyo
Farmasi USD

yw-education said...

Selamat atas launching blog Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan.Sukses selalu....GBU

yosef wijoyo
Farmasi USD