Monday, 21 April 2008

Estafet Formatio Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta Sejak 1936 - Sekarang

Pada tanggal 15 Agustus 1936, Seminari Tinggi Santo Paulus didirikan oleh Vikariat Apostolik Batavia, Mgr. P. Willekens, SJ di Muntilan. Kebijakan beliau ini didasari oleh situasi umat di Vikariat Batavia yang terus bertambah dan jumlah siswa Seminari Menengah pun bertambah. Para siswa Seminari itu banyak yang bergabung dengan kongregasi-kongregasi yang ada saat itu karena memang belum ada suatu lembaga pendidikan calon imam diosesan. Bagi Mgr. P. Willekens, SJ, imam diosesan adalah tulang punggung Gereja lokal. Oleh karena itu, beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan Seminari yang mendidik para calon imam diosesan. Dengan mendirikan Seminari Tinggi St. Paulus ini, Mgr. Willekens, SJ berharap bahwa Gereja Katolik di Indonesia akan menjadi Gereja lokal yang mandiri. Kemandirian ini dibutuhkan agar Gereja Katolik dan karya misi di Indonesia tetap dapat berdiri dan teguh dalam mewartakan karya keselamatan Allah. Para imam diosesan yang menjadi tulang punggung Gereja lokal ini diharapkan dapat menjadi penerus rasul-rasul yang handal dalam menggembalakan umat Katolik Indonesia.

Pada awal berdirinya, Mgr. Willekens, SJ menunjuk Pater Rickevorsel, SJ sebagai rektor pertama Seminari. Setelah itu, Seminari Tinggi mulai berziarah dalam mendidik para calon imamnya sebagai imam diosesan yang peka zaman dan tangguh dalam mewartakan Injil. Hingga kurun waktu 70 tahun (1936-2006), Seminari Tinggi St. Paulus telah mengalami pergantian rektor sebanyak 16 kali. Tulisan ini kiranya hendak menelusuri kembali jejak-jejak formatio para calon imam diosesan Seminari Tinggi ini berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh para rektor tersebut. Sumber-sumber yang digunakan adalah buku-buku kenangan peristiwa dies natalis Seminari Tinggi yang ke-25, 40, dan 64 tahun. Selain itu, sumber-sumber lain berupa tulisan Romo Darmawijaya, Pr mengenai proses formatio yang beliau kenal dan alami dari beberapa rektor selama beliau menjadi bagian staf Seminari Tinggi St. Paulus. Semoga tulisan yang merupakan rangkuman sejarah formatio ini dapat menjadi bahan refleksi bagi formatio Seminari Tinggi dalam menatap masa depan Gereja Katolik Indonesia.

I. Periode awal Seminari Tinggi dilahirkan (1936-1948)

a. Pater L.v. Rickevorsel, SJ (1936-1938)

Pater Rickevorsel, SJ adalah peletak dasar pendidikan Seminari Tinggi St. Paulus. Sebagai Presiden I (sebutan rektor waktu itu), ia berjuang keras dalam membangun situasi yang baru itu. Cita-cita dirumuskan dengan apik dan rapi: membangun Gereja Kristus di bumi Indonesia. Tepat, 15 Agustus 1936, berdirilah Seminari Tinggi di Muntilan dengan lima orang Indonesia berjubah putih yang bertekun memulai hidup baru.

Satu tahun berikutnya, empat orang lulusan Seminari Menengah ikut bergabung. Akhirnya, tahun 1938, keluarga Seminari Tinggi menjadi 16 orang. Semakin berkembangnya komunitas ini menuntut dikembangkannya semangat persaudaraan yang semakin matang dan dewasa. Di samping itu, pertambahan keluarga menuntut rumah yang lebih luas. Mertoyudanlah yang dituju, meskipun tempat itu seharusnya diperuntukkan untuk Seminari Menengah. Perpindahan tempat ini juga diikuti perpindahan pimpinan; Pater Rickevorsel, SJ digantikan Pater H. Muller, SJ.

b. Pater H. Muller, SJ (1938-1943)

Pater H. Muller, SJ melanjutkan apa yang telah dibangun oleh Pater Rickevorsel, SJ. Pater Rickevorsel, SJ kembali ke Eropa. Untuk sementara, dalam penyelenggaraan pendidikan calon imam, Pater H. Muller,SJ dibantu oleh Pater Berdsen, SJ, dan Pater M Becken, SJ.

Tahun 1940, kompleks Seminari Menengah selesai dibangun. Mau tidak mau, keluarga Seminari Tinggi harus menyerahkan kepada pemiliknya yang “sah”. Maka, Seminari Tinggi pindah di pinggir kali Code. Di sinilah tempat yang memang dipersiapkan untuk Seminari Tinggi. Walaupun sudah mendapat rumah sendiri, keluarga Seminari memang sempat berpindah maupun “mengungsi”. Maklum, waktu itu situasi perang. Seminari pernah pula “ngungsi” di Panti Rapih. Situasi demikian memberikan gemblengan dan tradisi mental yang tabah serta kuat dalam menghadapi segala kesukaran.

Akhirnya, buah pertama pendidikan Seminari Tinggi dapat dinikmati dengan ditahbiskannya imam angkatan pertama pada 26 Juli 1942. Mgr. A. Soegjapranata yang menjadi Uskup Indonesia pertama sejak tahun 1940 berkenan memberikan tahbisan kepada 4 Romo Muda: H. Voogdt, Pr, S. Lengkong, Pr, dan adiknya W. Lengkong, Pr dari Manado serta A. Poerwadihardja, Pr.

Situasi pada masa ini memang menegangkan. Tahun 1943, ditahbiskan lagi 4 imam diosesan pribumi: P. Dwidjasusanto, I. Harjadi, R. Sandjaja, dan Th. Harjawasita. Karena situasi, mereka ditahbiskan sebelum “waktunya”, sebab mereka belum menyelesaikan studinya. Mereka berjuang dan diutus ke pelosok Indonesia. Di antara romo tahbisan baru itu, ada yang menggantikan Pater H. Muller, SJ menjadi rektor Seminari Tinggi yaitu Rm. Th. Harjawasita, Pr. Pada masa pimpinan Pater H. Muller, SJ, walaupun dalam situasi yang susah, Seminari Tinggi tetap kokoh berdiri.

c. Rm. Th. Harjawasita, Pr (1943-1948)

Tidak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Pater H. Muller, SJ, pergulatan perang masih menjadi masalah utama dalam formatio. Pemerintah Jepang membatasi kegiatan romo-romo asing. Bantuan umat sangat mendukung formatio Seminari Tinggi (suster-suster Panti Rapih dan umat pada umumnya). Tahun 1944 keluarga Seminari sempat menempati bekas asrama Budi Utama di Sindunegaran. Dalam situasi sulit itu, karya ilahi tetap berjalan, Seminari Tinggi tetap menghasilkan imam-imamnya.

Pada tahun 1945, keluarga Seminari Tinggi berpindah dari Sindunegaran dan menumpang di kolese Jesuit, Kotabaru. Semangat kemerdekaan menyelimuti para ‘romo-romo mudha’ (frater, red) dalam mengolah panggilan. Kiranya yang juga patut dicatat dalam masa ini adalah tentang tahbisan imam pada tahun 1946. Karena hubungan Seminari dengan Mgr. A. Soegjapranata, SJ terhalang maka tahbisan imamat dilangsungkan di Malang oleh J.M. E. A. Alberts, O. Carm. Perjalanan memakan waktu 20 jam dengan bus kecil. Dalam perjalanan itu, bus kecil itu terguling dan menyebabkan seorang calon tertahbis patah tangannya. Sungguh pengalaman pahit! Tetapi, inilah pengalaman dalam rangka pembangunan Gereja.

Pada tahun 1947 tahbisan romo-romo mudha diadakan di Yogyakarta. Mereka yang ditahbiskan adalah Rm. Th. Puspasugondo, Pr dan Rm. J. Darmayuwono, Pr. Tahun 1948, setelah berhasil melewati masalah-masalah sulit itu, Rm. Th. Harjawasita, Pr meletakkan jabatan dan digantikan Rm. Adrianus Djajaseputra, SJ.

 

II. Periode Setelah Kemerdekaan – Pindah ke Kentungan (1948-1968)

a. Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1948-1949)

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi yang keempat pada tahun 1948-1949. Saat itu, beliau merangkap sebagai rektor Kolese Ignatius dan menjadi dosen Moral. Tahun 1948-1949, situasi Indonesia diwarnai dengan bergulirnya Revolusi Kemerdekaan. Efek dari revolusi ini adalah banyaknya romo-romo misionaris dari Belanda yang diinternir, sehingga pembinaan para frater sedikit terbengkelai. Sewaktu Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi, para seminarisnya masih sedikit, terbatas pada Vikariat Semarang. Hanya ada beberapa orang saja yang berasal dari luar Semarang. Selain itu, situasi politik Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang gencar dengan revolusinya membuat segenap rakyat hidup dalam keprihatinan, termasuk juga Seminari Tinggi. Untuk itu, saat itu, para staf Seminari Tinggi harus dapat mengatur pengeluaran sehari-hari dengan amat bijaksana agar dapat mencukupi kebutuhan hidup.

Dalam hal pembinaan para frater, pada tahun 1948-1949, Seminari Tinggi sudah menerapkan aturan-aturan ketat yang mesti ditaati oleh para frater. Mgr. Djajasepoetra, SJ mengungkapkan bahwa acara harian harus selalu dilihat dalam kerangka pembentukan spiritualitas. Beliau juga menekankan bahwa Seminari Tinggi itu adalah suatu lingkungan pendidikan, bukan hanya tempat mondok. Oleh karena itu, seluruh ritme hidup dan perkembangan seminaris harus terbina di Seminari Tinggi, khususnya, mengenai pembinaan spiritualitas.

Dalam Buku Kenangan 40 tahun Seminari Tinggi St. Paulus, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ berpesan bahwa untuk menuju cita-cita imamat diperlukan keteguhan hati. Beliau menambahkan bahwa sejak masuk Seminari, para frater hendaknya memahami siapa dan apa peran imam itu. Imam adalah pembantu uskup. Maka hidup para imam itu harus menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu uskup. Imam hendaknya memiliki keteguhan hati dalam melayani umat yang didasari oleh kematangan spiritualitas (kerohanian) dan ketaatan penuh kasih kepada uskupnya.

 

b. Rm. Dr. H. Ruding, SJ (1949-1958)

Rm. Ruding SJ adalah rektor kelima Seminari Tinggi St. Paulus. Sebagai rektor, Rm. Ruding, SJ memiliki visi tentang pembinaan calon imam yang sungguh-sungguh baru. Dalam hal evangelisasi di masyarakat Jawa ini, Rm. Ruding, SJ berpendapat bahwa seorang misionaris mempunyai tujuan membina iman kristiani yang bersifat Jawa. Maka, ia harus mempunyai mata terbuka untuk perbedaan antara isi agama kristiani yang esensial dan universal, dan dari pihak lain, bentuknya yang aksidentil dan bersifat barat. Saat itu, Rm. Ruding, SJ telah menggulirkan pandangan tentang adaptasi dan inkulturasi dalam hal pewartaan iman. Oleh karena itu, dalam pembinaan calon imam pun mulai disadari bahwa tugas para imam adalah membangun Gereja yang berwajah pribumi.

Kesadaran ini telah membawa suasana baru dalam pembinaan calon imam. Pembinaan calon imam lebih diarahkan sebagai pendidikan para imam yang nantinya dapat membangun jemaat khas Indonesia yang benar-benar mandiri. Usaha ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu, diperlukan sebuah pendidikan yang akhirnya akan membuahkan sosok imam pribumi yang benar-benar mempunyai kerohanian mendalam dan kemampuan pastoral yang handal. Sebagai langkah awal, visi pendidikan Seminari Tinggi setelah dipimpin oleh Rm. Ruding, SJ adalah penekanannya pada pembentukan pribadi para frater agar memiliki kontak pribadi dengan Yesus dalam doa dan karya. Dan itulah dasar dari pembinaan selanjutnya dalam rangka menuju visi baru demi hidupnya Gereja yang berwajah pribumi.

Rm. Ruding, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi dari tahun 1949-1958. Beliau digantikan oleh Rm. L. Suasso de Lima de Prado, SJ setelah beliau dinyatakan hilang saat naik gunung Sumbing. Sampai akhir hayatnya, Rm. Ruding, SJ menampakkan semangat berjuang yang penuh semangat demi Gereja Jawa yang mandiri.

c. Rm. L. Suasso de Lima de Prado, SJ (1958-1962)

Tahun 1955, Rm. Suasso, SJ ditugaskan menjadi staf Seminari Tinggi St. Paulus di Jl. Code. Rektor pada waktu itu adalah Rm. Ruding, SJ. Pada tahun 1958, ketika sedang mengadakan pendakian di gunung Sumbing, Rm. Ruding, SJ hilang (jenazah baru diketemukan satu tahun sesudahnya). Karena peristiwa tersebut, Rm. Suasso, SJ diminta untuk menggantikan Rm. Ruding, SJ menjadi rektor Seminari Tinggi. Pada waktu Rm. Suasso, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi, kedisiplinan sangat ditekankan dan dilaksanakan dengan ketat. Pendidikan Seminari menekankan segi intern dan tertutup. Ini tampak dalam jadwal harian yang ketat. Bagi Rm. Suasso, SJ, TOP (Tahun Orientasi Pastoral) merupakan waktu yang tepat untuk mengambil keputusan. Tidak ada frater yang masuk Teologi dengan keraguan akan panggilannya. Saat itu, bahasa menjadi kesulitan yang utama dalam hidup bersama karena para frater berasal dari berbagai suku. Akhirnya disepakati bahwa bahasa yang dipakai adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi.

Menurut beliau, yang paling penting dalam menjalani pendidikan di Seminari Tinggi adalah keterbukaan untuk dibimbing Roh Tuhan, juga dalam melaksanakan peraturan-peraturan. Secara lebih lanjut, beliau juga mengungkapkan bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, para frater dituntut untuk dapat mengintegrasikan kegiatan dan hidup harian dengan gagasan-gagasan teologi yang diperoleh dalam studi. Selain itu, beliau juga menekankan perlunya kerjasama dengan awam supaya dapat bergaul dengan masyarakat, misalnya, melalui kegiatan sosial atau kegiatan-kegiatan di paroki dan baik juga bila selama studi dibina kontak dengan pastor paroki dan umat lain. Akhirnya beliau menegaskan bahwa dalam semuanya, terlebih dalam hidup rohani, keterbukaan hati adalah suatu yang sangat penting dalam masa pendidikan sebagai calon imam.

d. Rm. Leo Soekoto, SJ (1962-1966)

Saat Rm. Leo Soekoto, SJ menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi, staf lain yang tinggal di Seminari Tinggi adalah Rm. Busch, SJ, Rm. Sumandar, SJ, dan Rm. Dick Hartoko, SJ. Saat itu, suasana umum formatio calon imam adalah pembinaan yang bernafaskan semangat Roma-sentris dan pra-Konsili Vatikan II. Kedisiplinan dan keteraturan hidup amat ditekankan. Ini ditunjukkan dengan adanya aturan-aturan yang harus ditaati secara ketat, misalnya: kewajiban memakai jubah setiap hari kemanapun frater pergi (kecuali saat olah raga, mandi, mencuci, dan tidur), kewajiban dua kali seminggu mengadakan ambulatio (jalan-jalan) berdua-dua seperti murid-murid yang diutus oleh Yesus, membaca surat kabar hanya boleh satu kali seminggu, dan pembatasan kesempatan untuk mendengarkan radio dan menonton TV. Dalam hal hidup komunitas pun, suasana pra-Konsili Vatikan II ini amat tampak, misalnya: membatasi pergaulan para frater dengan dunia luar serta pembedaan ruang makan antara para frater dan para romo, yang tentu saja dengan menu yang berbeda pula.

Suasana pra-Vatikan II yang menekankan Roma-sentris juga terasa dalam hal perkuliahan. Menurut kesaksian Rm. T. Adi Wardoyo, Pr, saat itu kuliah dilakukan dengan bahasa Latin. Kuliah Filsafat dan Teologi secara penuh menggunakan bahasa Latin sehingga para frater harus bekerja ekstra keras dalam studinya agar sungguh dapat memahami inti perkuliahan. Jadi amat tampaklah suasana Roma-sentris pada pembinaan calon imam saat itu. Meskipun demikian, banyak hal positif yang dapat dipetik dari periode pembinaan para calon imam tersebut. Salah satunya adalah kedekatan relasi antar frater. Karena saat itu jumlah frater Seminari Tinggi masih sedikit, maka relasi diantaranya dapat terjalin akrab. Selain itu, suasana pembinaan pra-Konsili Vatikan II telah menghasilkan buahnya dengan hadirnya imam-imam diosesan yang berkarakter, seorang pekerja keras, memiliki charitas pastoralis, berjiwa pemimpin, dan seorang utusan yang taat setia, sebagaimana kita temukan dalam pribadi-pribadi berikut ini: Rm. Mangunwijaya, Rm. Darmawijaya, Mgr. Hadiwikarta, Mgr. Djajasiswaya, Mgr. Kartasiswaya, dan Rm. Purwawidyana.

e. Rm. Tarcisius Wignyasupadma, SJ (1966-1974)

Berdasarkan dari kesaksian Rm. St. Darmawijaya, Pr, Rm. T. Wignyasupadma, SJ ini menjabat rektor Seminari Tinggi di masa terjadi perpindahan lokasi Seminari Tinggi dari Jl. Code 2 ke Kentungan. Pada waktu itu, Seminari dihuni juga oleh calon imam diosesan dari keuskupan lain: Bandung, Denpasar, Ende, Larantuka, Makassar, Malang, Purwokerto, Surabaya, dan Sintang. Bahkan saat itu juga, Seminari Tinggi menampung sejumlah calon imam dari kongregasi CSSR. Hal ini amat menampakkan bahwa Seminari Tinggi memfokuskan diri pada pembangunan Gereja lokal. Secara khusus, Seminari Tinggi St. Paulus ini turut mengembangkan pembangunan Gereja Katolik di Indonesia.

Saat itu, pendidikan calon imam amat membuka diri bagi perkembangan yang mungkin dalam Gereja. Hal ini dilatarbelakangi oleh semangat Konsili Vatikan II yang telah digulirkan. Arah pembinaan calon imam ditujukan untuk melayani Gereja setempat dan khususnya diarahkan pada para petugasnya di paroki. Dalam arti itu, kemampuan masing-masing calon imam perlu dikembangkan sesuai dengan pelayanan mereka dalam Gereja setempat tersebut. Hal ini juga diperjuangkan oleh staf Seminari Tinggi saat itu.

III. Periode Post-Pindah ke Kentungan---Sekarang (1968-2006)

a. Rm. Gerardus Scheltinga, SJ (1974-1976)

Rm. G. Scheltinga, SJ adalah pejabat rektor karena sejak 1969 beliau menjabat sebagai minister rumah atau kepala rumah tangga Seminari Tinggi. Di akhir masa rektorat, Rm. Wignyasupadma, SJ seringkali sakit sehingga tugas-tugas rektor kerap diambil alih oleh Romo Minister. Hingga akhirnya Rm. Wignya dibebastugaskan dari jabatan rektor pada tahun 1973, Seminari Tinggi harus menunggu 1 tahun untuk mendapatkan rektor baru. Pada masa ini, praktis seluruh gerak dinamika kehidupan Seminari Tinggi tetap berjalan sebagaimana sudah dirintis oleh Rm. Wignyasupadma, SJ. Hal yang menarik saat itu, menurut kesaksian Romo Darma adalah jumlah frater yang semakin bertambah karena frater-frater dari Makassar, Sumba, CSSR, Surabaya, dan OMI juga tinggal di Seminari Tinggi. Pembicaraan staf Seminari yang menarik pada saat itu ialah bagaimana Seminari Tinggi harus memikirkan pendampingan dari staf terhadap para frater mengingat jumlah frater yang semakin banyak dan juga mengenai keterbatasan tempat (gedung).

b. Rm. Chrysantus Prawirasuprapto, SJ (1976-1979)

Rm. Prawirasuprapto, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi setelah menjadi pembina para novis Yesuit. Dalam ingatan Romo Darma, ada dua hal yang menjadi sumbangan Rm. Prawirasuprapto, SJ dalam pembinaan para calon imam diosesan. Pertama, usaha beliau dalam merumuskan garis besar kehidupan Seminari Tinggi sebagai wacana atau rumah pembinaan bagi para calon imam. Semangat ini beliau kembangkan berdasarkan pada charitas pastoralis. Menurut beliau, charitas pastoralis (kasih pastoral) ini amat diperlukan sebagai dasar hidup calon imam yang diharapkan dapat melayani umat Allah dengan murah hati dan total. Kasih pastoral ini lalu menantang para calon imam itu untuk mengembangkan hidup rohani yang mendalam, hidup pribadi yang matang, kehidupan intelektual yang bertanggung jawab, dan minat pastoral yang besar demi pengembangan umat.

Kedua, usaha beliau untuk mendampingi para calon imam secara lebih intensif dengan membentuk perwalian tingkat. Wali tingkat ini mempunyai peran yang berbeda dengan para pembimbing rohani. Dengan ini pula, sebagian tanggung jawab rektor diberikan kepada para wali tingkat dan pembina rohani. Selain itu, pada zaman ini, dipikirkan juga bagaimana mendampingi para calon imam secara lebih intensif dengan mengurangi jumlah calon imam yang tinggal di Seminari Tinggi. Maka, disarankan untuk para calon imam diosesan Malang dan Surabaya agar belajar Filsafat Teologi di Malang, sementara calon imam dari diosesan Makassar mulai membangun Seminari (Wisma) sendiri yang disebut sebagai Seminari Tinggi Anging Mammiri. Warna Seminari Tinggi semakin diarahkan pada pembinaan calon imam diosesan.

c. Rm. Theodorus Prajitno, SJ (1980-1986)

Rm. Theodorus Prajitno, SJ ditugaskan untuk mengganti Rm. Prawirasuprapto, SJ sebagai rektor Seminari Tinggi yang di masa akhir rektorat beliau sering jatuh sakit. Rm. Theodorus Prajitno, SJ ini memiliki keahlian dalam bidang pastoral. Ini tampak dalam keaktifan beliau dalam mendampingi kelompok ME (Marriage Encounter) disamping tugas utama beliau sebagai rektor Seminari Tinggi. Dalam hal ini, tampak sekali usaha beliau dalam melibatkan kaum awam bagi pembinaan calon imam di Seminari Tinggi. Selain itu, muncul pemahaman baru tentang pastoral imam yakni tidak hanya dibatasi pada pelayanan parokial tetapi juga membuka perhatiannya pada pelayanan kategorial. Dengan melibatkan kaum awam dalam pembinaan para calon imam diosesan dan membuka pada pelayanan kategorial, suasana pembinaan calon imam pada masa ini telah membuka wacana tentang pembinaan calon imam diosesan yang peka zaman. Hal ini berarti bahwa pembinaan calon imam tidak lepas dari realitas zaman yang akan menjadi medan pastoral dan pelayanan para imam tersebut.

Konteks peristiwa saat itu diwarnai dengan dibukanya Tahun Orientasi Rohani Wisma Sanjaya Jangli tahun 1981. Pada tahun itu juga, Rm. Justinus Kardinal Darmoyuwono mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Semarang. Untuk pejabat uskup ditetapkan Romo Alexander Jayasiswaya. Setahun kemudian, Keuskupan Agung Semarang mendapatkan uskup baru yakni Mgr. Yulius Darmaatmadja, SJ. Mulai saat itulah bergulir pemikiran di antara para staf tentang pembinaan calon imam yang kontekstual dengan Keuskupan. Lalu, pemikiran ini membuka wacana bahwa bukan hanya paroki yang harus dilayani oleh para imam diosesan, melainkan juga pelbagai bidang seperti: bidang sosial, kateketik, liturgi, pembinaan kaum muda dan keluarga, serta pelbagai lembaga sosial masyarakat lainnya.

Selain itu, menurut Romo Theo (begitu biasanya beliau dipanggil) prinsip yang harus dipegang oleh seorang pemimpin adalah keterbukaan dan kejujuran. Dua hal ini diharapkan dapat menumbuhkan intimitas persaudaraan yang tulus. Dengan demikian, para calon imam diajak untuk terus menerus mau belajar, baik melalui jalur akademis maupun melalui perjumpaan dengan umat. Lebih lanjut, para calon imam ini diajak untuk selalu berefleksi dalam mengembangkan diri dan dalam pengalaman hidup rohani pribadi.

d. Rm. Julianus Sunarka, SJ (1986-1990)

Pembinaan calon imam diosesan yang mulai terbuka pada pastoral kategorial semakin terasa ketika Rm. J. Sunarka, SJ menggantikan Rm. Theodorus Prajitno, SJ. Hal ini tampak dalam kesadaran bahwa dalam pelayanan pastoral paroki pun mengandung unsur-unsur tersebut (pelayanan kategorial). Nuansa ini amat terasa karena didorong oleh uskup baru yang menghendaki kehidupan Gereja lebih memasyarakat. Unsur-unsur sosial kemasyarakatan dalam kehidupan jemaat mestinya juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan kehidupan rohani, pribadi, intelektual, dan pastoral.

Pada masa Rm. J. Sunarka, SJ menjabat rektor, Seminari Tinggi masih dihuni oleh pelbagai calon imam dari berbagai keuskupan, diantaranya adalah: Keuskupan Agung Jakarta, Medan, Palembang, Padang, Pangkalpinang, dan Purwokerto. Selain itu, suster-suster Abdi Kristus mulai terlibat dalam pembinaan para calon imam di Seminari Tinggi. Meskipun pelayanan suster-suster itu terbatas pada rumah tangga dan tata boga, tetapi kehadiran suster-suster itu turut memberi suasana baru bagi kehidupan Seminari Tinggi. Di kalangan staf sendiri, Rm. Sunarka adalah seorang komunikator yang baik. Kerjasama antar staf terjalin baik dengan rapat-rapat yang teratur, terencana, dan terarah sehingga ada waktu untuk saling berwawan hati demi kepentingan pengembangan pembinaan para calon imam.

Secara khusus, Rm. Sunarka menekankan perlunya visi imamat dan keterbukaan dalam pembinaan calon imam. Visi imamat itulah yang hendaknya dapat dimiliki oleh para calon imam dan para pendamping. Dengan demikian, visi imamat ini menjadi nilai pokok pribadi para calon imam. Visi imamat ini tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual, emosional, dan menyangkut perilaku pribadi dan sosial. Maka, setiap rektor kiranya perlu meniti sejauh mana olah holistik yang menyangkut matra-matra tersebut dicermati oleh si formandi. Sedangkan dari sisi formandi, keterbukaan dan kejujuran dari formandi amat ditekankan dalam rangka membentuk visi imamat ini.

e. Rm. Yohanes Chrisostomus Purwawidyana, Pr (1990-1997)

Sebagai rektor, Rm. Purwawidyana tetap mempertahankan keanekaragaman para pembina di Seminari Tinggi. Keterlibatan para romo, bruder Yesuit, suster-suster Abdi Kristus, dan romo diosesan terjalin semakin erat dan seimbang demi pembinaan calon imam yang semakin berkualitas. Suasana yang amat terasa selama Rm. Purwa menjabat sebagai rektor adalah suasana intelektual. Ini tampak dari tuntutan diselesaikannya skripsi sebagai syarat menerima tahbisan diakonat dan imamat. Syarat ini tidak hanya ingin menekankan pembinaan intelektual saja tetapi juga merupakan pembinaan kepribadian para calon imam di zaman baru. Disadari betul bahwa zaman ini memerlukan rohaniwan yang benar-benar memiliki semangat belajar yang tinggi dan intelektual yang bertanggung jawab. Semangat pembinaan calon imam dengan nuansa intelektual ini hendak menjawab tantangan nyata bagaimana seorang rohaniwan yang cendekiawan itu menjadi pewarta di tengah dunia yang tunggang langgang (runaway world).

Pada masa rektorat Rm. Purwawidyana ini, dibangun Wisma Petrus yang pertama-tama digunakan oleh para imam yang sudah purna karya. Wisma ini diresmikan pada tanggal 2 Juli 1991 tepat pada pesta perak imamat romo rektor ini. Kini, Wisma Petrus digunakan oleh romo-romo diosesan Keuskupan Agung Semarang dan Purwokerto yang mendapat tugas studi lanjut di universitas di Yogyakarta.

f. Rm. Yohanes Pujasumarta, Pr (1997-1998)

Pada tahun 1997, Rm. Purwawidyana, Pr menyelesaikan tugasnya sebagai rektor Seminari Tinggi dan digantikan oleh Rm. Y. Pujasumarta, Pr. Sebelum menjabat sebagai rektor, Romo Puja ini adalah rektor Tahun Orientasi Rohani para frater diosesan Keuskupan Agung Semarang di Wisma Sanjaya Jangli, Semarang. Pada waktu beliau diangkat sebagai rektor Seminari Tinggi, Keuskupan Agung Semarang baru mendapatkan uskup baru, setelah Mgr. Yulius Darmaatmadja dipindahtugaskan menjadi uskup Keuskupan Agung Jakarta, yakni Mgr. Ignatius Suharyo, Pr yang sebelumnya selama 14 tahun menjadi anggota staf Seminari Tinggi dan dosen Tafsir Kitab Suci.

Sejak awal masa rektoratnya, Rm. Pujasumarta menyadari pentingnya membangun mutu kepribadian para calon imam yang kelak akan menjadi gembala para umat. Salah satu hal yang dikembangkan untuk memupuk kepribadian tersebut adalah membangun kehidupan yang didasarkan atas persaudaraan yang sejati, tulus, dan ikhlas. Sebagai langkah awal, Rm. Puja mengajak anggota staf mencermati kembali bagaimana arah dan kebijakan pembinaan calon imam ini dapat dikembangkan. Lalu, Rm. Puja mengajak segenap warga Seminari untuk meneladan semangat St. Paulus pelindung Seminari Tinggi ini. Semangat itu dirumuskan sebagai visi dan misi pembinaan Seminari Tinggi selanjutnya.

Rm. Pujasumarta menjabat rektor hanya selama satu tahun karena beliau diangkat menjadi Vikaris Jendral Keuskupan Agung Semarang. Meski begitu singkat, secara visioner, beliau memberikan arah yang kuat bagi masa depan pengembangan hidup calon imam. Calon imam diharapkan menjadi pelayan jemaat yang handal dan tangguh, baik secara rohani, pribadi, intelektual, dan pastoral.

g. Mgr. Valentinus Kartasiswaya, Pr (1998-2004)

Setelah Rm. Pujasumarta diangkat menjadi Vikjen Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Valentinus Kartasiswaya, Pr diangkat menjadi rektor Seminari Tinggi pada tahun 1998. Sebelumnya, selama 13 tahun beliau bertugas menjadi sekretaris eksekutif KWI. Setelah masa tugas beliau di KWI selesai, maka Romo Karta bersedia menjadi rektor Seminari Tinggi. Pada masa rektorat Mgr. Karta ini, suasana pembinaan calon imam masih melanjutkan visi misi sebelumnya. Meskipun demikian, visi misi itu semakin jelas terumuskan dalam ‘Visi Misi Pendidikan dan Garis Besar Tata Hidup Bersama’ setelah peringatan Tumbuk Ageng Seminari Tinggi tahun 2000. Dalam visi misi pendidikan itu mulai tampak suatu gambaran cita-cita imamat yang dapat menjawab kenyataan zaman. Secara lebih khusus, pendidikan para calon imam ini ditempatkan dalam kerangka pembangunan dan pengembangan Gereja di Keuskupan Agung Semarang dan Indonesia. Sebagai point-point pendampingan, para calon imam itu diharapkan dapat melatih diri terus menerus untuk menjadi diri dengan kepribadian yang dewasa, kerohanian yang mendalam, intelektualitas yang bertanggung jawab, serta kemampuan pastoral yang handal.

Mgr. Kartasiswaya menjabat rektor Seminari Tinggi selama 6 tahun (1998-2004). Dalam rentang waktu itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pada masa dipimpin oleh Mgr. Kartasiswaya dibangunlah Wisma Vianney bagi para romo yang meneruskan studi Licensiat di Fakultas Teologi Wedabhakti. Wisma Vianney selesai dibangun pada bulan Agustus 1999.

Selain itu, menurut Mgr. Karta, imam yang dibutuhkan pada masa kini dan masa yang akan datang adalah imam yang commited terhadap panggilannya. “Commited” berarti mau dengan rela menyerahkan diri kepada Allah yang memanggilnya karena tergerak akan cinta. Selain commited terhadap panggilannya, seorang romo hendaknya memiliki kemampuan dan semangat intelektual yang memadai. Ia hendaknya memiliki semangat belajar, yaitu memiliki keinginan untuk berkembang dan diperkembangkan. Pada masa rektorat beliau, semangat commited dan mau untuk belajar terus-menerus sungguh diungkapkan dalam kebijakan-kebijakan beliau demi pembinaan calon imam yang peka zaman.

h. Rm. Florentinus Hartosubono (2004- sekarang)

Pada tahun 2004, Mgr. Kartasiswaya, Pr dipindahtugaskan menjadi romo pembantu paroki di paroki Kidul Loji dan digantikan oleh Rm. Fl. Hartosubono, Pr. Romo Bono sebelum menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi adalah romo rektor Tahun Orientasi Rohani Wisma Sanjaya Semarang. Pada masa awal rektoratnya, Romo Bono menghadapi beberapa perubahan tahap pendampingan para frater. Perubahan itu adalah diterapkannya kembali proses TOP (Tahun Orientasi Pastoral) setelah para frater memperoleh S-1 Filsafat Teologi. Program ini diterapkan bagi para frater yang masuk ke Seminari Tinggi Kentungan mulai tahun 2002. Problem yang dihadapi beliau dan para staf adalah tentang tempat para frater yang terbatas karena adanya perubahan tahap pembinaan tersebut. Praktis tahun perkuliahan 2005/2006 tidak ada TOP dan para frater yang tinggal di Seminari Tinggi semakin banyak (Tingkat I, II, III, IVA [yang seharusnya TOP], IVB, V, dan tingkat VI). Lalu, pada awal tahun perkuliahan, muncul kebijakan bahwa para frater tingkat V untuk sementara meminjam Wisma OMI di Blotan sebagai rumah pembinaan selama 1 tahun.

Dalam proses pembinaan calon imam, Romo Bono masih melanjutkan fokus pembinaan yang telah berjalan. Di samping itu, mulai ditekankan pula semangat untuk terlibat secara penuh dengan gerak keuskupan. Dalam rangka terlibat penuh pada gerak keuskupan itu, Seminari Tinggi menjadikan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (Ardas KAS) sebagai salah satu visi yang selalu mendapat tekanan dalam pendidikannya. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembinaan yang mengarahkan para calon imam untuk memiliki semangat taat asas, berkompeten (profesional), dan selalu terbuka terhadap on going formation imam-imam diosesan.

Penutup: Seminari Tinggi Menatap Masa Depan

Selama kurun waktu 70 tahun ini, Seminari Tinggi telah mengalami berbagai macam gerak dinamika proses pembinaan para calon imam. Dengan mewarisi dan merefleksikan sejarah peziarahan dalam mendidik para calon imam dari perspektif kebijakan rektor-rektor ini, Seminari Tinggi hendak menatap masa depan Gereja Indonesia yang mandiri. Cita-cita ini hendaknya selalu mengarahkan segenap umat beriman untuk mau terlibat aktif dalam mengembangkan Gereja dengan selalu menghidupkan dan mendukung panggilan imamat. Tongkat estafet pewartaan Injil bagi umat manusia di segala tempat dan segala zaman harus senantiasa diteruskan. Semoga dengan selalu belajar dan terbuka pada penyelenggaraan-Nya, pendidikan imam dapat memformat para calon imamnya untuk semakin menghayati imamatnya secara kontekstual dalam rangka menghadirkan Kristus, yakni kepenuhan Kerajaan Allah di sepanjang zaman.

1 comment:

noventa said...

selamat berjuang ya frater-frater
dari venta di merto