All in One
Seuntai celoteh tentang kursi Ijo dan Penunggunya
Seorang tokoh desa masuk dan duduk di Kursi Ijo. Ia duduk sembari mendengarkan lagu dan mengenang kembali keadaan desa Inten (desanya), dan Kursi Ijo.
“Oh, desa Intenku memang joss... udah hampir berumur 75 tahun tapi geregetnya semakin menjadi. Semua bahu-membahu membuat desa ini jadi lebih hidup. Dari tahun ke tahun selalu jadi desa favorit di kecamatan ini. Tapi, ngomong soal desa Inten ini, ada satu kekhasan yang enggak bisa lepas darinya... yaitu KURSI IJO. Lha ini yang saya duduki ini! Konon, menurut hikayat kursi ini sudah sama tuanya dengan desa inten ini. Sudah 75 tahun. Saya heran lho... kok yang jadi namanya itu warnanya ya?
Ijo-ijo... ah, mungkin memang warna hijau itu punya daya magis yang lebih besar. Apa aja, kalau diberi embel-embel “hijau”, pasti jadi sesuatu yang penting dan populer. Meja yang biasa-biasa aja kalau ditambahi “hijau”, wah... jadi berita terus di koran. Tabung gas itu dulu waktu warnanya biru enggak populer... setelah diganti hijau jadi populer karena sering njeblug to? Kolor?... sudah berabad-abad manusia menciptakan kolor dan enggak pernah jadi sesuatu yang penting. Setelah muncul “kolor Hijau”... baru orang sadar betapa berbahayanya kolor. Hijau itu memang warna kehidupan... kesuburan yang terpancar dari tanaman. Kata mbah dukun, orang yang suka warna hijau itu punya jiwa petualang besar... selalu optimis! Hijau itu juga warna yang bikin iri.. karena ada pepatah ‘Kursi tetangga nampak lebih hijau..’
Sebenernya, banyak obrolan sudah didengarkan oleh kursi ijo ini. Sudah banyak ronde Seven Sekop dimainkan di sini. Tapi jumlah warga desa udah semakin banyak.. perlu ruang omong yang lebih banyak. Untuk itu, kursi ijo yang di sebelah Utara sono katanya mau dipindahkan ke sini. Supaya, lebih banyak orang bisa ketampung di sini. Nah-nah, lhoo... itu sudah datang!! Ayo semua berdiri!! Sambutlah sang pahlawan sejarah dan peradaban!! Pahlawan kesamaan derajat!! KURSI IJO!!”
***
“ Mau tahu kenapa kursi ijo bisa begitu populer? Karena di atas barisan kayu inilah semua orang berada dalam posisi sejajar. Enggak ada yang “mengajar” dan “diajar”. Yang ada adalah “saling belajar...”. Enggak ada yang mendominasi percakapan; semua boleh keras kepala, semua boleh mendebat, dan semua mau mendengarkan.
Kursi ijo punya prestasi panjang. Socrates menenggak racun di atas kursi ijo, Beethoven menulis simfoni di atas kursi ijo; Leonardo da Vinci melukis Mona Lisa di atas kursi ijo; Mao mengobarkan revolusi Cina dari atas kursi ijo, dan Ariel Peterpan... menyanyi di atas kursi ijo. Konon, Napoleon Bonaparte suka duduk di kursi ijo sembari memikirkan soal Demokrasi. Di atas kursi inilah Revolusi Perancis Lahir; dengan semboyan Liberte, Egalite, dan Fraternite. Ideologi-ideologi besar dunia lahir dari kursi ijo: Liberalisme, Komunisme, Demokrasi Klasik, Demokrasi Pancasila, Demokrasi Terpimpin sampai Meditasi terpimpin semua lahir di kursi Ijo. Kursi ijo ini juga menjadi saksi lahirnya pemikir-pemikir besar dunia. Filsuf-filsuf kecurigaan menulis tesis-tesisnya di atas kursi ijo... Mulai dari Feuerbach, Nietzsche, Marx, Freud, Sartre, sampai yang terakhir: Paman Chiko... dengan tesisnya, “kalau Tuhan itu baik, mengapa ada Ontong dan Wegig?”. Itu adalah RESIKO KEHIDUPAN, BUKAN ANCAMAN!
Ah... bicara soal Resiko dan Ancaman, saya jadi ingat satu-dua hal. Hidup bersama yang baik itu sebenarnya seperti orang main kartu. Mau tau kenapa orang suka bermain seven sekop? Karena itulah representasi hidup bersama yang ideal! Saat bermain seven sekop, aku tidak tahu kartu apa yang dipegang orang lain... bahkan bisa saja dia curang. Tapi toh, itu tidak menjadikan mereka harus menunjukkan kartunya pada saya... yang penting adalah KEPERCAYAAN! Rasa percaya itu! Rasa percaya tidak selalu butuh bukti! Guru saya saja pernah bilang “berbahagialah yang tidak melihat namun percaya...” kalau setelah melihat bukti-bukti yang ada baru percaya... itu namanya PERUSAHAAN. Semua musti transparan! Kalau tanpa bukti-bukti sudah bisa percaya akan hal yang baik... itu KELUARGA.
Hebat ya? Kursi sesimpel ini bisa menimbulkan banyak inspirasi... kata orang-orang tua sih, kalau suatu barang atau tempat itu bertuah, pasti ada penunggunya, seperti pohon beringin di sono itu... katanya ada penunggunya. Kebon buah dibelakang itu juga subur karena ada penunggunya, yang tiap pagi dan sore keliling. Telepon umum Rt 03 itu juga ada penunggunya lho... tapi belakangan ini enggak ada... sedang operasi gigi katanya. Sampai-sampai dhedhemit jaman sekarang itu kekurangan tempat untuk ditunggui, masak ruang setrika di RT 03 itu juga ada penunggunya?? Wah-wah... kalau kursi ijo itu, kira-kira penunggunya apa ya? Apa yang mungkin bisa jadi maskot 75 tahun desa Inten ini ya? Kira-kira, di dalemnya ada apa ya?? Kita lihat aja nanti kalau selubungnya dibuka!!”