Tuesday 29 April 2008

TAHUN SANTO PAULUS 28 Juni 2008 – 29 Juni 2009

logo_paolino Pada surat Sekretaris Eksekutif KWI (No. 049/IV/2008) yang ditujukan kepada para Waligereja Indonesia dan Para Pimpinan Tarekat dan Lembaga Studi, diberitakan akan diadakannya Tahun Yubile Khusus ”Tahun Santo Paulus”. Beberapa informasi disampaikan sbb.:

Tahun Santo Paulus ditetapkan mulai dari tanggal 28 Juni 2008 sampai dengan tanggal 29 Juni 2009 oleh Bapa Suci Benediktus XVI pada tanggal 28 Juni 2007 di dekat makam Santo Paulus yang terdapat di Basilika Santo Paulus Di Luar Tembok. Perayaan itu diadakan dalam rangka memperingati kelahiran Santo Paulus 2000 tahun yang lalu.

Pada penetapan Tahun Santo Paulus itu Bapa Suci Benediktus XVI mengatakan,

”Saudari-saudara, sebagaimana pada Gereja perdana, sekarang ini juga Kristus membutuhkan rasul-rasul yang siap sedia mengorbankan dirinya. Tuhan membutuhkan saksi-saksi iman dan martir-martir seperti santo Paulus. Paulus, yang semula penganiaya orang-orang Kristiani, ketika jatuh di tanah, terpesona oleh cahaya ilahi pada jalan menuju Damsyik, tidak ragu-ragu mengubah arah menuju Yang Tersalib, dan mengikuti-Nya tanpa berpikir panjang. Ia hidup dan bekerja untuk Kristus, ia menderita dan mati untuk Kristus. Betapa tepatnya ia menjadi teladan iman zaman sekarang!

Dan karena alasan inilah Saya menetapkan secara resmi bahwa kita akan mempersembahan Tahun Yubile khusus kepada Rasul Paulus dari tanggal 28 Juni 2008 sampai 29 Juni 2009, pada kesempatan peringatan dua millenium kelahirannya, yang diperkirakan oleh para ahli terjadi antara tahun 7 – 10 Masehi.

Direncanakan secara istimewa merayakan ”Tahun Santo Paulus” di Roma di makam yang disepakati oleh para ahli dan tradisi yang tak terbantahkan, menyimpan jenazah Sang Rasul, yang dilestarikan di bawah altar kepausan Basilika selama 20 abad.

Direncanakan juga menyelenggarakan serangkaian acara liturgis, budaya dan ekumenis di Basilika dan di pertapaan Benediktin, juga berbagai prakarsa pastoral dan social, yang terinspirasi dari spiritualitas Santo Paulus.

Perhatian khusus diberikan kepada peziarah pada makam Sang Rasul untuk memperoleh anugerah rohani. Konvensi pembelajaran dan publikasi khusus mengenai naskah-naskah Paulus diupayakan agar kekayaan luar biasa ajaran-ajarannya semakin luas dikenal, sebagai warisan kemanusiaan yang telah ditebus oleh Kristus.

Lebih lanjut, di segala penjuru dunia, prakarsa-prakarsa serupa hendaknya dilaksanakan di keuskupan-keuskupan, tempat ziarah dan tempat ibadah, oleh para biarawan-biarawati, oleh pusat-pusat lembaga pendidikan dan pelayanan sosial yang mengambil nama Santo Paulus atau yang terinspirasi olehnya dan ajarannya.

Akhirnya, ada satu aspek khusus yang harus diperhatikan selama perayaan 2.000 tahun ulang tahun Santo Paulus: yang saya sebut sebagai dimensi ekumenis. Rasul untuk umat bukan Yahudi, yang membaktikan diri untuk menyampaikan kabar sukacita kepada segala bangsa, meninggalkan landasan kuat untuk kesatuan dan harmoni di antara orang Kristiani.

Semoga Santo Paulus berkenan memimpin dan melindungi kita dalam perayaan ulangtahunnya, membantu kita untuk maju dalam upaya yang rendah hati dan jujur untuk kesatuan penuh semua anggota Tubuh Mistik Kristus. Amen.”

Disebutkan juga pada surat, yang ditandatangani oleh Andrea Cardinal di Montezemolo, berbagai upaya selama Tahun Santo Paulus, sbb:

  • Penemuan kembali jatidiri Rasul Paulus, kegiatan dan perjalanan misionersnya, terutama yang dikisahkan oleh Santo Lukas di dalam Kisah Para Rasul;
  • Pembacaan ulang banyak suratnya yang dialamatkan kepada umat Kristiani perdana;
  • Penghayatan tahun-tahun awal Gereja kita;
  • Kesempatan untuk semakin mendalami ajaran yang kaya dari Santo Paulus, yang diarahkan kepada bangsa bukan Yahudi, dan untuk merenungkan spiritualitas iman, harapan dan kasih;
  • Kesempatan untuk berziarah pada makam dan berbagai tempat yang berkaitan dengannya;
  • Revitalisasi iman pribadi kita dan peran kita dalam Gereja dewasa ini, dalam terang ajarannya;
  • Berdoa dan bekerja agar semua orang Kristiani boleh menemukan ”kesatuan penuh anggota Tubuh Mistik Kristus”.

Pelaksanaan Tahun Santo Paulus tersebut diserahkan kepada keuskupan masing-masing. Informasi tentang Tahun Santo Paulus dapat diperoleh melalui website: www.vatican.va atau www.annopaulino.org.

Di Keuskupan Agung Semarang Tahun 2008 ini fokus pastoral kita ”Melibatkan Anak dan Remaja untuk Pembangunan Umat.” Ketika Tahun Santo Paulus diawali pada tanggal 28 Juni 2008, kita sedang menyelenggarakan Kongres Ekaristi Keuskupan I yang berlangsung pada tanggal 27 - 29 Juni 2008. Sedangkan Tahun 2009 yang akan datang fokus pastoral kita ”Melibatkan Kaum Muda untuk Mengembangkan Umat”.

Silakan menyampaikan masukan kepada kami untuk menyusun program Tahun Santo Paulus.



Salam doa, n Berkah Dalem,

J. Pujasumarta, Pr

(posting ini diambil dari www.pujasumarta.multiply.com)

Monday 28 April 2008

Wasiat Iman Rm. Tom Jacobs SJ.

Pengantar

 

Ketika saya mengunjungi Rama Tom Jacobs yang dirawat di Rumah Sakit sekitar satu bulan sebelum menghadap Tuhan, Rama Tom mengajak saya untuk berbicara dari hati ke hati sebagai sahabat, mengenai hal penting yang ada dalam hati beliau. Rama Tom menyampaikan keprihatinan beliau tentang Gereja di Belanda dan Gereja di Indonesia. Beliau amat sedih menyaksikan perkembangan keadaan Gereja Katolik di Belanda, dan berharap agar Gereja Katolik di Indonesia tidak mengalami hal yang sama, meskipun yang dihadapi adalah tentangan global yang sama. Beliau menyebut secara khusus proses sekularisasi yang dampaknya amat dahsyat, antara lain sekularisme. Muncul pertanyaan: Apa yang dapat kita buat? Dalam pembicaraan itu muncul satu gagasan: pembinaan iman melalui devosi popular yang dilandaskan pada iman yang kuat. Beliau kelihatan lega. Dalam keadaan sakit itu pula, khususnya dalam waktu sekitar dua minggu sebelum beliau wafat, lahirlah gagasan yang saya sajikan secara utuh di dalam lembar-lembar ini. Beliau mengutarakan gagasannya secara lisan dan direkam. Gagasan itu kemudian ditulis oleh Rama J.B. Heru Prakosa, SJ dan dibacakan di depan Rama Tom pada hari Jumat sore, tanggal 28 Maret 2008 lalu diserahkan kepada saya para hari Sabtu, tanggal 29 Maret sore ketika saya mengunjungi beliau. Gagasan ini diberi judul “Mempersiapkan Kongres Ekaristi”. Adapun Kongres Ekaristi Keuskupan Agung Semarang, akan dilaksanakan pada tanggal 27 – 29 Juni 2008. Pada waktu memberikan naskah ini kepada saya, beliau masih mengatakan kepada saya, “Har, ini rangkuman dari seluruh pergumulan iman saya”. Karena keterbatasan saya, beliau tidak sempat melihat naskah ini dibagikan sebelum beliau menghadap Tuhan pada hari Sabtu tanggal 5 April 2008.

 

Saya sampaikan secara utuh gagasan beliau sebagai warisan atau bahkan “wasiat” iman bagi kita semua, sekaligus sebagai rasa hormat dan terima kasih atas jasa-jasa beliau bagi Gereja Keuskupan Agung Semarang khususnya, dan Gereja Katolik Indonesia, pada umumnya. Semoga gagasan ini menjadi tantangan bagi kita semua, khususnya para imam yang diutus untuk menjadi teman seperjalanan dalam peziarahan iman.

 

 

                                                                        Semarang 8 April 2008

                         

                                                                           † Ignatius Suharyo

Uskup Keuskupan Agung Semarang

 

 

 

PERSIAPAN KONGRES EKARISTI

PROF. DR. TOM JACOBS, SJ

 

REFLEKSI

trinitasIni adalah gambar tiga malaekat yang menjumpai Abraham, seperti yang diceriterakan di dalam kitab Kejadian 18: 1-10:

Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah, serta berkata: “Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini. Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini; biarlah kuambil sepotong roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan meneruskan perjalanannya sebab tuan-tuan telah datang ke tempat hambamu ini.” Jawab mereka: “Perbuatlah seperti yang kau katakan itu.” Lalu Abraham segera pergi ke kemah mendapatkan Sara serta berkata: “Segeralah! Ambil tiga sukat tepung yang terbaik! Remaslah itu dan buatlah roti bundar!” Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, ia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan memberikannya kepada seorang bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya. Kemudian diambilnya dadih dan susu serta anak lembu yang telah diolah itu, lalu dihidangkannya di depan orang-orang itu; dan ia berdiri di dekat mereka di bawah pohon itu, sedang mereka makan. Lalu kata mereka kepadanya: “Di manakah Sara, isterimu?” Jawabnya: “Di sana, di dalam kemah.” Dan firmanNya: “Sesungguhnya Aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sara, isterimu, akan mempunyai seorang anak laki-laki.” Dan Sara mendengarkan pada pintu kemah yang di belakang-Nya.

Dikatakan di awal kutipan di atas: ‘Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbatin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya’ (Kej 18: 1-2a).

 

Layak dicatat bahwa Tuhan bukanlah salah satu dari tiga orang yang disebutkan itu. Melalui kunjungan ketiga orang itu, Tuhan menampakkan diri. Tetapi, ini hanya lambang, seperti yang dikisahkan dalam bab sebelumnya, tentang penampakan Tuhan melalui lambang-lambang.

 

Ketika matahari telah terbenam, dan hari menjadi gelap, maka kelihatanlah perapian yang berasap beserta suluh yang berapi lewat di antara potongan-potongan daging itu (Kej 15:17).

Pada kitab Kejadian 15: 17 dan seterusnya, Tuhan tampak dalam bentuk perapian dan suluh. Tetapi ini hanyalah lambang. Tuhan menampakkan diri lewat lambang! Dengan demikian, kalau dalam kutipan sebelumnya dikatakan, ‘Firman Tuhan’ (bdk. Kej 15: 13), maka itu tidak berarti bahwa Tuhan langsung berbicara dengan Abraham. Ini hanya terjadi pada Kej 15. Maka juga, berkenaan dengan tiga orang dalam Kej 18, tidak perlu bertanya ‘siapakah Tuhan dan siapa pembantu atau pendamping-pendamping-Nya!’

 

Persoalan muncul ketika di kemudian hari gambar yang dibuat oleh Adrej Rubljow pada abad 15 tersebut diintepretasikan sebagai gambaran tentang Trinitas. Pada tahun 1745, Paus Benediktus XIV melarang pemakaian gambar tersebut sebagai gambaran tentang Trinitas. Mengapa? Alasannya adalah karena dalam gambar tersebut – yang memang tidak dimaksudkan oleh pelukis sebagai gambaran tentang Trinitas – Bapa, Putera, dan Roh Kudus, telah disejajarkan. Gambar tersebut dilarang, sebab kalau ada tiga Allah – dan Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus, disejajarkan – maka monotheisme akan hilang. Jadi yang dilarang oleh Paus adalah penyejajaran ke-tiga Pribadi Ilahi.

 

Dengan demikian Pribadi Kedua tidak dapat berdiri di samping Pribadi Pertama, tetapi merupakan ‘kesinambungan’ dari-Nya, dan oleh karena itu Ia disebut Firman. Kedudukan Firman tidak ada di samping! Firman terkait dengan ‘pihak yang berfirman’, maka dikatakan bahwa ‘Dia adalah Firman Allah’ dan oleh karena itu Dia adalah Allah. Tetapi, Yohanes sampai dua kali menegaskan bahwa Dia tidak sama dengan Allah, karena ‘firman’ memang tidak sama dengan ‘pihak yang berfirman!’ Sebagai Firman Allah, Firman adalah benar-benar Allah. Ini tidak dapat disangkal; hanya layak dicatat bahwa – sebagai Firman Allah – Pribadi Kedua tidak dapat dilepaskan dari Pribadi Pertama. Maka dikatakan: ‘Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya…’ (Yoh. 1: 14a).

 

Di dalam diri Yesus, kelihatanlah siapa Allah yang sesungguhnya! Di dalam diri Yesus, Allah telah menampakkan diri.

 

Nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasihNya kepada manusia, pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmatNya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang sudah dilimpahkanNya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita, supaya kita sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karuniaNya berhak menerima hidup yang kekal sesuai dengan pengharapan kita (Titus 3:4-7).

 

Di dalam diri Yesus, menjadi jelas siapakah Allah. Di dalam diri Yesus, kita mengenal Allah. Maka dikatakan ‘….. barang siapa yang melihat Aku, ia melihat Dia yang mengutus Aku …’ (Yoh 12:45).

 

Di dalam diri Yesus, kita bertemu dengan Allah. Dan Allah yang menampakkan diri di dalam diri Yesus adalah Allah yang penuh dengan cinta kasih, bahkan Allah yang penuh dengan kerahiman! Mengapa? Alasannya adalah karena Allah memang mencintai orang yang malang dan miskin. Mereka adalah orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan dari Allah, dan Allah menampakkan kerahiman-Nya kepada mereka. Allah yang hadir di dalam diri Yesus menampakkan bahwa Dia menerima kemalangan dan kekurangan, dan bahkan juga kedosaan manusia. Dalam kerahiman dan kebaikan Yesus tampaklah kerahiman Allah. Sekali lagi, di dalam diri Yesus, kita mengetahui siapakah Allah yang sesungguhnya!

 

Di dalam diri Yesus, kita mengetahui bahwa Allah bukan hanya hakim yang adil, melainkan, dan terutama, hakim yang pengampun. Kepada seorang pendosa yang disalib di samping-Nya, Yesus berkata: “Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23: 43).

 

Yesus tidak pernah menolak siapa pun. Oleh orang Farisi, Ia dianggap salah, karena Ia bergaul dengan orang berdosa. Tetapi, justru dengan demikian, Ia memperlihatkan siapakah ‘Allah yang sesungguhnya’ dan bukan ‘Allah yang menuntut’ seperti yang dipahami oleh orang-orang Farisi. Dengan itu semua, Yesus memperlihatkan ‘Allah yang memberi’ dan khususnya ‘Allah yang memberi pengampunan’.

 

Selanjutnya, karena Allah adalah maharahim, maka Yesus menyebut Allah dengan sebutan Bapa, dan Ia menyebut diri Anak! Maka dikatakan: ‘………... Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: ‘Dia adalah Allah kami’…………’ (Yoh. 8: 54b).

 

Tetapi bukan hanya diri Yesus yang disebut ‘Anak Allah’. Semua orang yang bersatu dengan Yesus juga disebut anak-anak Allah (bdk. Rom. 8: 16-17). Mengenai sebutan anak pada diri Yesus, layak diingat bahwa ini adalah sebutan kiasan yang terkait dengan ke-manusia-an Yesus, bukan yang terkait dengan Firman!

 

Puncak kerahiman Allah menunjuk pada kenyataan bahwa kita boleh bertemu dengan Allah dalam kebersamaan dan kesatuan dengan Yesus. Maka dari itu, puncak kerahiman Allah juga menunjuk pada kenyataan akan wafat Yesus yang menyerahkan diri kepada Allah dan diterima Allah dalam kemuliaan.

 

kerahiman ilahi Berkaitan dengan hal ini, kita ingat akan gambar kerahiman Ilahi sebagaimana dipopulerkan oleh St. Faustina.

Di dalam gambar di atas, kerahiman Ilahi dilukiskan sebagai Yesus yang bercahayakan kebangkitan dan kemuliaan. Yesus memang bersatu dengan Allah; dan kenyataannya itu pulalah tujuan hidup kita. Puncak kerahiman Allah adalah bahwa kita boleh bersatu dengan Allah di dalam dan oleh Yesus. Hal itu tidak terlaksana hanya pada akhir hidup kita, tetapi sekarang ini juga, yaitu di dalam Ekaristi Suci. Ekaristi dengan demikian tidak hanya mempersatukan kita dengan diri Yesus; namun persatuan kita dengan Yesus juga telah mempersatukan kita dengan Allah. Singkatnya, Ekaristi adalah puncak kerahiman Ilahi.

 

 

RIWAYAT HIDUP RAMA TOM JACOBS, SJ

 

Rm. Tom

13 Juli 1929 Lahir di Zevenbergen, Nederland

1947            Lulus Gymnasium A

7 Sept. 1948 Masuk Novisiat Serikat Yesus Nederland, tahun I

1949           Dikirim ke Indonesia

1950           Novisiat tahun II, di Girisonta, Ungaran

1951           Yuniorat Serikat Yesus, di Girisonta

                  (studi bahasa-bahasa dan kebudayaan)

1952 - 1954 Studi Filsafat di Yogyakarta (Kolsani)

1955 - 1956 Tahun Orientasi Pastoral,

                   Prefek di Kolese Loyola, Semarang

1957 - 1958 Studi Teologi di Yogyakarta (Jl. Tjode)

31 Juli 1959 Ditahbiskan Imam di Yogyakarta

1960            Studi Teologi, Kolese Ignatius

1961           Tertiat Serikat Yesus di Girisonta

1962 - 1963 Mengajar Teologi

1963 - 1966 Studi lanjut di Biblicum, Roma, Italia

1967 - 1989 Mengajar Teologi di IFT, Kentungan

                  tinggal di Kolese Ignatius

1990           Di Belanda

1991 - 1994 Mengajar Teologi di IFT, Kentungan

1995           Sabbatical

1995 - skg. Tinggal di Pastoran Kotabaru

2003           Guru Besar di Univ. Sanata Dharma

Monday 21 April 2008

Datang dan Lihatlah !!

"Aku akan mengangkat bagimu

gembala-gembala yang sesuai dengan hati-Ku"

(Yer 3:15)

slogan

Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta

Jl. Kaliurang Km. 7 Kotak Pos 1194

Kentungan, Yogyakarta 55011

Telp. (0274) 885714, 880027

stsantopaulus@gmail.com

www.stsantopaulus.blogspot.com

Sosok Pendiri

 

"...demi kebutuhan akan penuai-penuai panenan..."

 

gambar mgr willekens

 

 

Mgr. P.J. Willekens, SJ.

Pendiri Seminari Tinggi St. Paulus

 

Lahir: Reusel, 6 - 12 - 1881
Tahbisan Imam: Maastricht, 24 - 8 - 1915
Tahbisan Uskup: Jakarta, 3 - 10 - 1934
Wafat: Yogyakarta, 27 - 1 - 1971

Seminary's Lab

Romo Gito_064

under construction !!!!

Tonggak Sejarah Awal Mula Seminari Tinggi St. Paulus

Pengantar

Berdirinya Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Mgr. Paulus Willekens. Perjalanan hidup Mgr. Willekens sudah banyak diketahui. Gagasan visioner dan berani Mgr. Willekens tentang Seminari Tinggi St. Paulus sudah sering diulas. Pentingnya kehadiran imam diosesan sebagai “alat kerasulan” keuskupan sudah berkali-kali disuarakan. Kehadiran Seminari Tinggi St. Paulus dalam konteks besar Sejarah Gereja Katolik di Indonesia sudah muncul setiap kali perayaan HUT diperingatigereja salus.tif.

Paparan berikut akan mencoba mengulas dari sisi lain. Kata ‘hipotetis’ pada judul perlu mendapat catatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipotesis adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pernyataan pendapat meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan. Begitulah memang tulisan ini; ulasan yang belum final. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Sejauh ini, kaitan Seminari Tinggi St. Paulus dengan Mgr. Willekens lebih difokuskan pada keputusan visioner Mgr. Willekens. Dikatakan visioner karena sewaktu Gereja Katolik di Indonesia berada dalam masa kritis, masa-masa pergolakan kemerdekaan 1942-1945, Gereja mampu bertahan antara lain justru berkat keputusan Mgr. Willekens pada tahun 1936. Tulisan ini tidak mau menyanggah, tetapi secara sederhana mau mencoba memperluas pihak-pihak yang terlibat dalam keputusan tersebut. Namun toh harus dikatakan belum final karena ada beberapa data kunci yang masih harus digali lebih lanjut, antara lain korespondensi antara Mgr. Willekens selaku Vikaris Apostolik Batavia dengan para Superior Yesuit baik yang berada di Indonesia maupun di Belanda.

Paling tidak ada lima hal yang kiranya melatarbelakangi keputusan Mgr. Willekens untuk mendirikan sebuah pendidikan imam diosesan yang kemudian dinamai Seminari Tinggi St. Paulus. Pertama, Surat-surat Apostolik yang pasti sudah didalami oleh Mgr. Willekens bahkan sebelum ditunjuk sebagai Vikaris Apostolik Batavia, yaitu Ad Extremas dan Maximum Illud. Kedua, keputusan mendirikan sebuah institusi pendidikan imam diosesan tentulah memerlukan tersedianya fasilitas dan tenaga pendamping, dan di sini pihak Serikat Jesus pasti turut berperan. Ketiga, jumlah baptisan baru terutama amat menonjol di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah yang notabene memiliki latar belakang budaya Jawa yang cukup kental. Keempat, jumlah siswa di Seminari Menengah terus meningkat. Kelima, -dan ini yang belum tercakup dalam tulisan ini- korespondensi antara Vikaris Apostolik Batavia dengan Pimpinan Serikat Jesus. Hal ini menjadi lebih penting lagi karena sejak tahun 1940, wilayah DIY-Jawa Tengah dilepaskan dari Vikariat Apostolik Batavia dan menjadi Vikariat Semarang.

Kiblat Baru: Gereja Tanah Misi

Kesadaran bahwa dunia itu lebih luas dari sekedar wilayah Eropa sudah muncul sejak Abad Pertengahan dengan maraknya berbagai macam ekspedisi entah karena tuntutan ekonomi atau sekedar avontur, petualangan. Sekalipun demikian, Gereja Katolik masih cenderung mengukur segala sesuatunya dari kacamata Eropa -Eropasentris- bahkan cenderung memandang yang bukan Eropa secara lebih rendah.

Surat Apostolik Ad Extremas yang ditulis oleh Paus Leo XIII pada tahun 1893, dialamatkan terutama kepada Gereja di India: bahwa Gereja di India sudah dipandang cukup dewasa untuk berdiri menjadi keuskupan-keuskupan baru. Untuk itu, mulai perlu hadirnya imam-imam pribumi; bukan hanya sebagai pembantu para misionaris tetapi harus siap juga untuk mengambil alih peran mereka dan nantinya menjadi pemimpin di wilayah mereka. Penguasaan bahasa lokal sebagai syarat untuk mengenal dan memenangkan hati rakyat kepada Kristus mewarnai Surat Apostolik ini. Gereja baru dapat disebut dewasa kalau juga mampu memenuhi kebutuhan akan tenaga-tenaga gerejani lokal. Adanya imam-imam lokal, oleh Paus Leo, dipandang sebagai suatu situasi yang ideal.

Maximum Illud yang ditulis oleh Paus Benediktus XV pada tahun 1919, dilatarbelakangi oleh tragedi Perang Dunia I yang antara lain mengakibatkan kekacauan di Eropa. Sebagai akibatnya, pengiriman tenaga misi menjadi lamban atau bahkan berkurang drastis. Maximum Illud melihat semakin mendesaknya kebutuhan akan imam pribumi dan penguasaan bahasa lokal justru karena adanya situasi politik di beberapa negara yang mulai mengusir orang asing berkaitan dengan gerakan kemerdekaan. Menguasai bahasa lokal dapat menjadi modal untuk diterima, tetapi juga sebagai bentuk kesediaan menerima dan menghormati budaya setempat.

Kedua Surat Apostolik ini pastilah sudah didalami oleh Mgr. Willekens sejak beliau diangkat menjadi visitator di wilayah Asia. Kedua Surat Apostolik tersebut memperlihatkan bahwa Gereja universal mulai menghargai budaya lokal, mulai mendorong penguasaan bahasa setempat, dan pada akhirnya, mendorong untuk mempromosikan lahirnya imam-imam pribumi. Kedua Paus melihat kehadiran imam pribumi sebagai suatu situasi yang ideal karena merekalah yang mengenal budaya dan hati rakyat setempat serta memahami kerinduan mereka. Dan dengan peristiwa Perang Dunia I, Gereja makin melihat bahwa bagaimanapun akan tiba waktunya tanah-tanah misi harus mampu hidup mandiri tanpa kehadiran misionaris. Gereja perlu mengantisipasi situasi tersebut, tetapi lebih dari itu, Gereja sendiri mulai menghargai budaya lokal. Pesan Injil harus diterjemahkan ke dalam situasi konkret Gereja-Gereja baru. Dan di sinilah peran sentral yang harus dimainkan oleh para imam pribumi di dalam mengakarkan pesan-pesan Injil dalam budaya mereka.

Pertumbuhan Umat Katolik di Yogyakarta dan Jawa Tengah

Romo van Lith telah menjadikan Muntilan sebagai pusat pendidikan yang bernafaskan Katolik dan berbasis pada budaya lokal. Tidak lama kemudian, Yogyakarta dengan cepat menjadi pusat kerasulan para misionaris yang meneruskan semangat misionernya. Sekolah-sekolah misi, baik untuk laki-laki maupun perempuan bermunculan, gedung-gedung gereja sebagai bukti munculnya kelompok-kelompok umat hadir di pelbagai tempat. Dan sejak Kotabaru dijadikan tempat pendidikan calon imam Yesuit, laju perkembangan umat tidak hanya semakin banyak tetapi juga semakin meluas. Kolese Santo Ignatius (Kolsani) benar-benar menjadi pusat gerakan misi Katolik.

Sambil menuntut pendidikan di Kolsani, para frater terlibat langsung di dalam melayani permintaan tenaga sebagai pengajar agama. Bagi para frater yang berkebangsaan Belanda, pelayanan tersebut sekaligus untuk mengasah kemampuan bahasa Jawa yang tengah mereka pelajari. Tidak ada tempat yang terlalu jauh untuk tidak didatangi. Di manapun ada undangan untuk mengajar agama, ke sana para frater ini datang bersepeda. Beberapa catatan berikut memperlihatkan sebagian suasana yang terjadi pada periode tersebut.

“Di Yogyakarta Romo van Driessche memberi pelajaran agama kepada sekitar 500 orang Jawa. Dari hari ke hari, jumlah mereka terus bertambah. Jika situasinya terus demikian, diperlukan imam lain untuk membantu pelayanan terhadap orang-orang Jawa ini. Situasi yang sama juga terjadi di kota Surakarta...” (Surat Jos Hoeberechts, Superior Misi, kepada Romo Provinsial di Belanda. Yogyakarta, 22 Desember 1919).

“Pelayanan di paroki makin berat. Tahun in,i ada empat stasi baru dibuka. Pada hari Minggu, tidak jarang saya harus memberi homili sampai lima kali. Devosi kepada Hati Kudus Yesus juga menampakkan antusiasme, terutama pada hari Jumat pertama. Dan pada kesempatan tersebut, saya juga memberi homili...” (Surat Romo A van Hoof kepada Romo Provinsial. Batavia, 10 Februari 1925).

“Karya misi di Jawa Tengah berkembang amat baik. Hanya saja, ada satu hal yang tidak boleh dilalaikan, yakni bahwa sebagian besar dari mereka yang mengikuti pelajaran Agama itu anak-anak muda, anak-anak usia sekolah. Masalahnya adalah bahwa para imam yang menguasai bahasa Jawa masih amat terbatas.” (Surat Romo Schmedding kepada Romo Provinsial. Muntilan, 2 Januari 1923).

Dari surat-surat tersebut, tertangkaplah adanya kegembiraan sekaligus keprihatinan. Kegembiraan itu dapat mudah dimengerti karena begitu banyak orang dari pelbagai lapisan sosial maupun usia dengan amat antusias ingin menjadi Katolik. Dan pada gilirannya, antusiasme itu juga mempengaruhi umat Katolik berkebangsaan Eropa. Mereka pun semakin aktif di dalam hidup menggereja dan berdevosi. Di lain pihak, toh tertangkap adanya suasana keprihatinan. Keprihatinan ini sebenarnya merupakan lagu lama, keprihatinan yang sudah dirasakan oleh Rm. van Lith, yaitu penguasaan bahasa Jawa di kalangan para misionaris. Kiranya, akan menjadi suatu situasi yang ideal bila di tengah pertumbuhan semacam itu hadir imam pribumi, seorang imam yang tidak memiliki kendala bahasa, mentalitas, maupun budaya sehingga dengan tepat dapat mengantar orang-orang yang haus akan warta Injil itu di dalam cara berpikir mereka.

Keprihatinan lain yang tidak boleh diabaikan adalah pendidikan para calon baptis. Gereja Katolik perlu mengantisipasi mereka ini karena sebagian besar dari mereka berada pada usia sekolah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau kehadiran suster-suster Fransiskanes dan bruder-bruder FIC terutama diarahkan untuk menangani bidang pendidikan. Selain di pusat Yogyakarta, sekolah-sekolah misi juga bermunculan sampai jauh di pelosok-pelosok yang bahkan sekolah negeri pun belum hadir.

Tenaga Formator

Kolese Santo Ignatius Kotabaru menjadi pusat gerakan misi Katolik di Yogyakarta. Karena rumah itu, dalam perjalanan waktu, memang menjadi rumah formasi, rumah pendidikan para calon Yesuit. Setelah tahun 1923, Kolsani dibuka sebagai rumah pendidikan awal (novisisiat) dan tidak lama kemudian juga menjadi rumah para frater yang belajar filsafat. Mereka terdiri dari para calon imam Yesuit, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Belanda. Memang telah diputuskan bahwa para Yesuit Belanda yang ingin berkarya di Indonesia, sejak pendidikan awal, sudah harus mulai menjalani masa formatio di Indonesia. Bukan hanya agar mereka mulai mengenal calon-calon rekan kerja mereka tetapi juga agar sejak awal, mereka sudah menguasai bahasa setempat sehingga mampu memahami dengan lebih baik lagi budaya dan mentalitas orang Jawa. Para Yesuit muda inilah yang dengan giat, penuh antusias, dan tidak mengenal lelah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajar agama, merintis berdirinya sekolah misi dan Gereja Katolik.

Dengan tenaga yang masih amat terbatas, Kolese Santo Ignatius mulai berkembang sebagai rumah formasi: rumah novisiat, juniorat, dan filsafat. Mulai dikumpulkannya para Yesuit yang berkarya di bidang pembinaan ini, sedikit banyak akan menjadi pembuka jalan bagi kemungkinan dibukanya Seminari Tinggi. Artinya, keputusan Mgr. Willekens untuk memulai sebuah institusi pendidikan imam diosesan bukannya tanpa dasar sama sekali. Paling tidak, sumber daya manusia dengan kurikulum dan strukturnya sudah ada. Kalau Maximum Illud menuntut supaya pendidikan calon imam pribumi tetap memenuhi standard Gerejani, pastilah Mgr. Willekens melihat rumah formasi di Kolsani ini sebagai salah satu pertimbangan. Dengan kata lain, tenaga-tenaga pendamping spiritual maupun akademis yang sudah tersedia itu -sekalipun dalam segala keterbatasannya- akan dapat dimintai bantuannya pula di dalam mendampingi para calon imam diosesan.

Seminari Menengah

Jumlah siswa Seminari Menengah terus mengalami pertumbuhan jumlah. Mereka yang lulus dan tetap ingin menjadi imam tentu saja memilih Kongregasi imam yang mereka kenal, yaitu mereka yang sudah berkarya di Indonesia. Belum ada imam diosesan. Dan sebagai Gereja yang masih tergolong muda, barangkali mereka juga belum dapat membayangkan cara hidup macam apakah imam diossesan itu. Padahal, dari Surat Apostolik Ad Extremas dan Maximum Illud, kehadiran imam yang mengenal betul situasi dan budaya setempat menjadi tuntutan agar Gereja dapat mandiri tetapi juga berakar pada budayanya. Dengan kata lain, diperlukan adanya imam pribumi yang berkarya untuk keuskupan dan menetap di keuskupannya. Dan inilah tanggung jawab uskup. Oleh karena itu, diperlukan seorang uskup yang berani dan mau berinisiatif untuk “memperkenalkan” imam diosesan; uskup yang mau membuka pintu bagi mereka yang tertarik untuk bekerja di keuskupan, sehingga di antara para lulusan Seminari Menengah itu, menjadi imam diosesan pun merupakan salah satu kemungkinan dasn salah satu pilihan.

Pendukung di Balik Layar

Mgr. Willekens pasti tidak mengambil keputusan tanpa tidak melibatkan rekan-rekan misionaris yang semuanya adalah Yesuit. Mereka dilibatkan lewat surat-menyurat, rapat, dsb. Perencanaan teknis-praktis yang lebih mendetail tentu ada dalam pembicaraan ini. Dapat diandaikan bahwa di dalam pembicaraan itu, didiskusikan tentang model pendampingan dan cara hidup yang mau mereka perkenalkan kepada para calon imam diosesan. Hal itu penting mengingat bahwa model hidup dan spiritualitas macam apa yang mau mereka tanamkan akan menjadi sebuah tradisi bagi kehidupan imam diosesan di kemudian hari. Dengan kata lain, tanggung jawab mereka tidaklah ringan karena apapun yang mereka putuskan akan menjadi warna dari imam-imam diosesan di kemudian hari.



Fl. Hasto Rosariyanto, SJ

Estafet Formatio Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta Sejak 1936 - Sekarang

Pada tanggal 15 Agustus 1936, Seminari Tinggi Santo Paulus didirikan oleh Vikariat Apostolik Batavia, Mgr. P. Willekens, SJ di Muntilan. Kebijakan beliau ini didasari oleh situasi umat di Vikariat Batavia yang terus bertambah dan jumlah siswa Seminari Menengah pun bertambah. Para siswa Seminari itu banyak yang bergabung dengan kongregasi-kongregasi yang ada saat itu karena memang belum ada suatu lembaga pendidikan calon imam diosesan. Bagi Mgr. P. Willekens, SJ, imam diosesan adalah tulang punggung Gereja lokal. Oleh karena itu, beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan Seminari yang mendidik para calon imam diosesan. Dengan mendirikan Seminari Tinggi St. Paulus ini, Mgr. Willekens, SJ berharap bahwa Gereja Katolik di Indonesia akan menjadi Gereja lokal yang mandiri. Kemandirian ini dibutuhkan agar Gereja Katolik dan karya misi di Indonesia tetap dapat berdiri dan teguh dalam mewartakan karya keselamatan Allah. Para imam diosesan yang menjadi tulang punggung Gereja lokal ini diharapkan dapat menjadi penerus rasul-rasul yang handal dalam menggembalakan umat Katolik Indonesia.

Pada awal berdirinya, Mgr. Willekens, SJ menunjuk Pater Rickevorsel, SJ sebagai rektor pertama Seminari. Setelah itu, Seminari Tinggi mulai berziarah dalam mendidik para calon imamnya sebagai imam diosesan yang peka zaman dan tangguh dalam mewartakan Injil. Hingga kurun waktu 70 tahun (1936-2006), Seminari Tinggi St. Paulus telah mengalami pergantian rektor sebanyak 16 kali. Tulisan ini kiranya hendak menelusuri kembali jejak-jejak formatio para calon imam diosesan Seminari Tinggi ini berdasarkan kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh para rektor tersebut. Sumber-sumber yang digunakan adalah buku-buku kenangan peristiwa dies natalis Seminari Tinggi yang ke-25, 40, dan 64 tahun. Selain itu, sumber-sumber lain berupa tulisan Romo Darmawijaya, Pr mengenai proses formatio yang beliau kenal dan alami dari beberapa rektor selama beliau menjadi bagian staf Seminari Tinggi St. Paulus. Semoga tulisan yang merupakan rangkuman sejarah formatio ini dapat menjadi bahan refleksi bagi formatio Seminari Tinggi dalam menatap masa depan Gereja Katolik Indonesia.

I. Periode awal Seminari Tinggi dilahirkan (1936-1948)

a. Pater L.v. Rickevorsel, SJ (1936-1938)

Pater Rickevorsel, SJ adalah peletak dasar pendidikan Seminari Tinggi St. Paulus. Sebagai Presiden I (sebutan rektor waktu itu), ia berjuang keras dalam membangun situasi yang baru itu. Cita-cita dirumuskan dengan apik dan rapi: membangun Gereja Kristus di bumi Indonesia. Tepat, 15 Agustus 1936, berdirilah Seminari Tinggi di Muntilan dengan lima orang Indonesia berjubah putih yang bertekun memulai hidup baru.

Satu tahun berikutnya, empat orang lulusan Seminari Menengah ikut bergabung. Akhirnya, tahun 1938, keluarga Seminari Tinggi menjadi 16 orang. Semakin berkembangnya komunitas ini menuntut dikembangkannya semangat persaudaraan yang semakin matang dan dewasa. Di samping itu, pertambahan keluarga menuntut rumah yang lebih luas. Mertoyudanlah yang dituju, meskipun tempat itu seharusnya diperuntukkan untuk Seminari Menengah. Perpindahan tempat ini juga diikuti perpindahan pimpinan; Pater Rickevorsel, SJ digantikan Pater H. Muller, SJ.

b. Pater H. Muller, SJ (1938-1943)

Pater H. Muller, SJ melanjutkan apa yang telah dibangun oleh Pater Rickevorsel, SJ. Pater Rickevorsel, SJ kembali ke Eropa. Untuk sementara, dalam penyelenggaraan pendidikan calon imam, Pater H. Muller,SJ dibantu oleh Pater Berdsen, SJ, dan Pater M Becken, SJ.

Tahun 1940, kompleks Seminari Menengah selesai dibangun. Mau tidak mau, keluarga Seminari Tinggi harus menyerahkan kepada pemiliknya yang “sah”. Maka, Seminari Tinggi pindah di pinggir kali Code. Di sinilah tempat yang memang dipersiapkan untuk Seminari Tinggi. Walaupun sudah mendapat rumah sendiri, keluarga Seminari memang sempat berpindah maupun “mengungsi”. Maklum, waktu itu situasi perang. Seminari pernah pula “ngungsi” di Panti Rapih. Situasi demikian memberikan gemblengan dan tradisi mental yang tabah serta kuat dalam menghadapi segala kesukaran.

Akhirnya, buah pertama pendidikan Seminari Tinggi dapat dinikmati dengan ditahbiskannya imam angkatan pertama pada 26 Juli 1942. Mgr. A. Soegjapranata yang menjadi Uskup Indonesia pertama sejak tahun 1940 berkenan memberikan tahbisan kepada 4 Romo Muda: H. Voogdt, Pr, S. Lengkong, Pr, dan adiknya W. Lengkong, Pr dari Manado serta A. Poerwadihardja, Pr.

Situasi pada masa ini memang menegangkan. Tahun 1943, ditahbiskan lagi 4 imam diosesan pribumi: P. Dwidjasusanto, I. Harjadi, R. Sandjaja, dan Th. Harjawasita. Karena situasi, mereka ditahbiskan sebelum “waktunya”, sebab mereka belum menyelesaikan studinya. Mereka berjuang dan diutus ke pelosok Indonesia. Di antara romo tahbisan baru itu, ada yang menggantikan Pater H. Muller, SJ menjadi rektor Seminari Tinggi yaitu Rm. Th. Harjawasita, Pr. Pada masa pimpinan Pater H. Muller, SJ, walaupun dalam situasi yang susah, Seminari Tinggi tetap kokoh berdiri.

c. Rm. Th. Harjawasita, Pr (1943-1948)

Tidak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Pater H. Muller, SJ, pergulatan perang masih menjadi masalah utama dalam formatio. Pemerintah Jepang membatasi kegiatan romo-romo asing. Bantuan umat sangat mendukung formatio Seminari Tinggi (suster-suster Panti Rapih dan umat pada umumnya). Tahun 1944 keluarga Seminari sempat menempati bekas asrama Budi Utama di Sindunegaran. Dalam situasi sulit itu, karya ilahi tetap berjalan, Seminari Tinggi tetap menghasilkan imam-imamnya.

Pada tahun 1945, keluarga Seminari Tinggi berpindah dari Sindunegaran dan menumpang di kolese Jesuit, Kotabaru. Semangat kemerdekaan menyelimuti para ‘romo-romo mudha’ (frater, red) dalam mengolah panggilan. Kiranya yang juga patut dicatat dalam masa ini adalah tentang tahbisan imam pada tahun 1946. Karena hubungan Seminari dengan Mgr. A. Soegjapranata, SJ terhalang maka tahbisan imamat dilangsungkan di Malang oleh J.M. E. A. Alberts, O. Carm. Perjalanan memakan waktu 20 jam dengan bus kecil. Dalam perjalanan itu, bus kecil itu terguling dan menyebabkan seorang calon tertahbis patah tangannya. Sungguh pengalaman pahit! Tetapi, inilah pengalaman dalam rangka pembangunan Gereja.

Pada tahun 1947 tahbisan romo-romo mudha diadakan di Yogyakarta. Mereka yang ditahbiskan adalah Rm. Th. Puspasugondo, Pr dan Rm. J. Darmayuwono, Pr. Tahun 1948, setelah berhasil melewati masalah-masalah sulit itu, Rm. Th. Harjawasita, Pr meletakkan jabatan dan digantikan Rm. Adrianus Djajaseputra, SJ.

 

II. Periode Setelah Kemerdekaan – Pindah ke Kentungan (1948-1968)

a. Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1948-1949)

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi yang keempat pada tahun 1948-1949. Saat itu, beliau merangkap sebagai rektor Kolese Ignatius dan menjadi dosen Moral. Tahun 1948-1949, situasi Indonesia diwarnai dengan bergulirnya Revolusi Kemerdekaan. Efek dari revolusi ini adalah banyaknya romo-romo misionaris dari Belanda yang diinternir, sehingga pembinaan para frater sedikit terbengkelai. Sewaktu Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi, para seminarisnya masih sedikit, terbatas pada Vikariat Semarang. Hanya ada beberapa orang saja yang berasal dari luar Semarang. Selain itu, situasi politik Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang gencar dengan revolusinya membuat segenap rakyat hidup dalam keprihatinan, termasuk juga Seminari Tinggi. Untuk itu, saat itu, para staf Seminari Tinggi harus dapat mengatur pengeluaran sehari-hari dengan amat bijaksana agar dapat mencukupi kebutuhan hidup.

Dalam hal pembinaan para frater, pada tahun 1948-1949, Seminari Tinggi sudah menerapkan aturan-aturan ketat yang mesti ditaati oleh para frater. Mgr. Djajasepoetra, SJ mengungkapkan bahwa acara harian harus selalu dilihat dalam kerangka pembentukan spiritualitas. Beliau juga menekankan bahwa Seminari Tinggi itu adalah suatu lingkungan pendidikan, bukan hanya tempat mondok. Oleh karena itu, seluruh ritme hidup dan perkembangan seminaris harus terbina di Seminari Tinggi, khususnya, mengenai pembinaan spiritualitas.

Dalam Buku Kenangan 40 tahun Seminari Tinggi St. Paulus, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ berpesan bahwa untuk menuju cita-cita imamat diperlukan keteguhan hati. Beliau menambahkan bahwa sejak masuk Seminari, para frater hendaknya memahami siapa dan apa peran imam itu. Imam adalah pembantu uskup. Maka hidup para imam itu harus menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu uskup. Imam hendaknya memiliki keteguhan hati dalam melayani umat yang didasari oleh kematangan spiritualitas (kerohanian) dan ketaatan penuh kasih kepada uskupnya.

 

b. Rm. Dr. H. Ruding, SJ (1949-1958)

Rm. Ruding SJ adalah rektor kelima Seminari Tinggi St. Paulus. Sebagai rektor, Rm. Ruding, SJ memiliki visi tentang pembinaan calon imam yang sungguh-sungguh baru. Dalam hal evangelisasi di masyarakat Jawa ini, Rm. Ruding, SJ berpendapat bahwa seorang misionaris mempunyai tujuan membina iman kristiani yang bersifat Jawa. Maka, ia harus mempunyai mata terbuka untuk perbedaan antara isi agama kristiani yang esensial dan universal, dan dari pihak lain, bentuknya yang aksidentil dan bersifat barat. Saat itu, Rm. Ruding, SJ telah menggulirkan pandangan tentang adaptasi dan inkulturasi dalam hal pewartaan iman. Oleh karena itu, dalam pembinaan calon imam pun mulai disadari bahwa tugas para imam adalah membangun Gereja yang berwajah pribumi.

Kesadaran ini telah membawa suasana baru dalam pembinaan calon imam. Pembinaan calon imam lebih diarahkan sebagai pendidikan para imam yang nantinya dapat membangun jemaat khas Indonesia yang benar-benar mandiri. Usaha ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu, diperlukan sebuah pendidikan yang akhirnya akan membuahkan sosok imam pribumi yang benar-benar mempunyai kerohanian mendalam dan kemampuan pastoral yang handal. Sebagai langkah awal, visi pendidikan Seminari Tinggi setelah dipimpin oleh Rm. Ruding, SJ adalah penekanannya pada pembentukan pribadi para frater agar memiliki kontak pribadi dengan Yesus dalam doa dan karya. Dan itulah dasar dari pembinaan selanjutnya dalam rangka menuju visi baru demi hidupnya Gereja yang berwajah pribumi.

Rm. Ruding, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi dari tahun 1949-1958. Beliau digantikan oleh Rm. L. Suasso de Lima de Prado, SJ setelah beliau dinyatakan hilang saat naik gunung Sumbing. Sampai akhir hayatnya, Rm. Ruding, SJ menampakkan semangat berjuang yang penuh semangat demi Gereja Jawa yang mandiri.

c. Rm. L. Suasso de Lima de Prado, SJ (1958-1962)

Tahun 1955, Rm. Suasso, SJ ditugaskan menjadi staf Seminari Tinggi St. Paulus di Jl. Code. Rektor pada waktu itu adalah Rm. Ruding, SJ. Pada tahun 1958, ketika sedang mengadakan pendakian di gunung Sumbing, Rm. Ruding, SJ hilang (jenazah baru diketemukan satu tahun sesudahnya). Karena peristiwa tersebut, Rm. Suasso, SJ diminta untuk menggantikan Rm. Ruding, SJ menjadi rektor Seminari Tinggi. Pada waktu Rm. Suasso, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi, kedisiplinan sangat ditekankan dan dilaksanakan dengan ketat. Pendidikan Seminari menekankan segi intern dan tertutup. Ini tampak dalam jadwal harian yang ketat. Bagi Rm. Suasso, SJ, TOP (Tahun Orientasi Pastoral) merupakan waktu yang tepat untuk mengambil keputusan. Tidak ada frater yang masuk Teologi dengan keraguan akan panggilannya. Saat itu, bahasa menjadi kesulitan yang utama dalam hidup bersama karena para frater berasal dari berbagai suku. Akhirnya disepakati bahwa bahasa yang dipakai adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi.

Menurut beliau, yang paling penting dalam menjalani pendidikan di Seminari Tinggi adalah keterbukaan untuk dibimbing Roh Tuhan, juga dalam melaksanakan peraturan-peraturan. Secara lebih lanjut, beliau juga mengungkapkan bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, para frater dituntut untuk dapat mengintegrasikan kegiatan dan hidup harian dengan gagasan-gagasan teologi yang diperoleh dalam studi. Selain itu, beliau juga menekankan perlunya kerjasama dengan awam supaya dapat bergaul dengan masyarakat, misalnya, melalui kegiatan sosial atau kegiatan-kegiatan di paroki dan baik juga bila selama studi dibina kontak dengan pastor paroki dan umat lain. Akhirnya beliau menegaskan bahwa dalam semuanya, terlebih dalam hidup rohani, keterbukaan hati adalah suatu yang sangat penting dalam masa pendidikan sebagai calon imam.

d. Rm. Leo Soekoto, SJ (1962-1966)

Saat Rm. Leo Soekoto, SJ menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi, staf lain yang tinggal di Seminari Tinggi adalah Rm. Busch, SJ, Rm. Sumandar, SJ, dan Rm. Dick Hartoko, SJ. Saat itu, suasana umum formatio calon imam adalah pembinaan yang bernafaskan semangat Roma-sentris dan pra-Konsili Vatikan II. Kedisiplinan dan keteraturan hidup amat ditekankan. Ini ditunjukkan dengan adanya aturan-aturan yang harus ditaati secara ketat, misalnya: kewajiban memakai jubah setiap hari kemanapun frater pergi (kecuali saat olah raga, mandi, mencuci, dan tidur), kewajiban dua kali seminggu mengadakan ambulatio (jalan-jalan) berdua-dua seperti murid-murid yang diutus oleh Yesus, membaca surat kabar hanya boleh satu kali seminggu, dan pembatasan kesempatan untuk mendengarkan radio dan menonton TV. Dalam hal hidup komunitas pun, suasana pra-Konsili Vatikan II ini amat tampak, misalnya: membatasi pergaulan para frater dengan dunia luar serta pembedaan ruang makan antara para frater dan para romo, yang tentu saja dengan menu yang berbeda pula.

Suasana pra-Vatikan II yang menekankan Roma-sentris juga terasa dalam hal perkuliahan. Menurut kesaksian Rm. T. Adi Wardoyo, Pr, saat itu kuliah dilakukan dengan bahasa Latin. Kuliah Filsafat dan Teologi secara penuh menggunakan bahasa Latin sehingga para frater harus bekerja ekstra keras dalam studinya agar sungguh dapat memahami inti perkuliahan. Jadi amat tampaklah suasana Roma-sentris pada pembinaan calon imam saat itu. Meskipun demikian, banyak hal positif yang dapat dipetik dari periode pembinaan para calon imam tersebut. Salah satunya adalah kedekatan relasi antar frater. Karena saat itu jumlah frater Seminari Tinggi masih sedikit, maka relasi diantaranya dapat terjalin akrab. Selain itu, suasana pembinaan pra-Konsili Vatikan II telah menghasilkan buahnya dengan hadirnya imam-imam diosesan yang berkarakter, seorang pekerja keras, memiliki charitas pastoralis, berjiwa pemimpin, dan seorang utusan yang taat setia, sebagaimana kita temukan dalam pribadi-pribadi berikut ini: Rm. Mangunwijaya, Rm. Darmawijaya, Mgr. Hadiwikarta, Mgr. Djajasiswaya, Mgr. Kartasiswaya, dan Rm. Purwawidyana.

e. Rm. Tarcisius Wignyasupadma, SJ (1966-1974)

Berdasarkan dari kesaksian Rm. St. Darmawijaya, Pr, Rm. T. Wignyasupadma, SJ ini menjabat rektor Seminari Tinggi di masa terjadi perpindahan lokasi Seminari Tinggi dari Jl. Code 2 ke Kentungan. Pada waktu itu, Seminari dihuni juga oleh calon imam diosesan dari keuskupan lain: Bandung, Denpasar, Ende, Larantuka, Makassar, Malang, Purwokerto, Surabaya, dan Sintang. Bahkan saat itu juga, Seminari Tinggi menampung sejumlah calon imam dari kongregasi CSSR. Hal ini amat menampakkan bahwa Seminari Tinggi memfokuskan diri pada pembangunan Gereja lokal. Secara khusus, Seminari Tinggi St. Paulus ini turut mengembangkan pembangunan Gereja Katolik di Indonesia.

Saat itu, pendidikan calon imam amat membuka diri bagi perkembangan yang mungkin dalam Gereja. Hal ini dilatarbelakangi oleh semangat Konsili Vatikan II yang telah digulirkan. Arah pembinaan calon imam ditujukan untuk melayani Gereja setempat dan khususnya diarahkan pada para petugasnya di paroki. Dalam arti itu, kemampuan masing-masing calon imam perlu dikembangkan sesuai dengan pelayanan mereka dalam Gereja setempat tersebut. Hal ini juga diperjuangkan oleh staf Seminari Tinggi saat itu.

III. Periode Post-Pindah ke Kentungan---Sekarang (1968-2006)

a. Rm. Gerardus Scheltinga, SJ (1974-1976)

Rm. G. Scheltinga, SJ adalah pejabat rektor karena sejak 1969 beliau menjabat sebagai minister rumah atau kepala rumah tangga Seminari Tinggi. Di akhir masa rektorat, Rm. Wignyasupadma, SJ seringkali sakit sehingga tugas-tugas rektor kerap diambil alih oleh Romo Minister. Hingga akhirnya Rm. Wignya dibebastugaskan dari jabatan rektor pada tahun 1973, Seminari Tinggi harus menunggu 1 tahun untuk mendapatkan rektor baru. Pada masa ini, praktis seluruh gerak dinamika kehidupan Seminari Tinggi tetap berjalan sebagaimana sudah dirintis oleh Rm. Wignyasupadma, SJ. Hal yang menarik saat itu, menurut kesaksian Romo Darma adalah jumlah frater yang semakin bertambah karena frater-frater dari Makassar, Sumba, CSSR, Surabaya, dan OMI juga tinggal di Seminari Tinggi. Pembicaraan staf Seminari yang menarik pada saat itu ialah bagaimana Seminari Tinggi harus memikirkan pendampingan dari staf terhadap para frater mengingat jumlah frater yang semakin banyak dan juga mengenai keterbatasan tempat (gedung).

b. Rm. Chrysantus Prawirasuprapto, SJ (1976-1979)

Rm. Prawirasuprapto, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi setelah menjadi pembina para novis Yesuit. Dalam ingatan Romo Darma, ada dua hal yang menjadi sumbangan Rm. Prawirasuprapto, SJ dalam pembinaan para calon imam diosesan. Pertama, usaha beliau dalam merumuskan garis besar kehidupan Seminari Tinggi sebagai wacana atau rumah pembinaan bagi para calon imam. Semangat ini beliau kembangkan berdasarkan pada charitas pastoralis. Menurut beliau, charitas pastoralis (kasih pastoral) ini amat diperlukan sebagai dasar hidup calon imam yang diharapkan dapat melayani umat Allah dengan murah hati dan total. Kasih pastoral ini lalu menantang para calon imam itu untuk mengembangkan hidup rohani yang mendalam, hidup pribadi yang matang, kehidupan intelektual yang bertanggung jawab, dan minat pastoral yang besar demi pengembangan umat.

Kedua, usaha beliau untuk mendampingi para calon imam secara lebih intensif dengan membentuk perwalian tingkat. Wali tingkat ini mempunyai peran yang berbeda dengan para pembimbing rohani. Dengan ini pula, sebagian tanggung jawab rektor diberikan kepada para wali tingkat dan pembina rohani. Selain itu, pada zaman ini, dipikirkan juga bagaimana mendampingi para calon imam secara lebih intensif dengan mengurangi jumlah calon imam yang tinggal di Seminari Tinggi. Maka, disarankan untuk para calon imam diosesan Malang dan Surabaya agar belajar Filsafat Teologi di Malang, sementara calon imam dari diosesan Makassar mulai membangun Seminari (Wisma) sendiri yang disebut sebagai Seminari Tinggi Anging Mammiri. Warna Seminari Tinggi semakin diarahkan pada pembinaan calon imam diosesan.

c. Rm. Theodorus Prajitno, SJ (1980-1986)

Rm. Theodorus Prajitno, SJ ditugaskan untuk mengganti Rm. Prawirasuprapto, SJ sebagai rektor Seminari Tinggi yang di masa akhir rektorat beliau sering jatuh sakit. Rm. Theodorus Prajitno, SJ ini memiliki keahlian dalam bidang pastoral. Ini tampak dalam keaktifan beliau dalam mendampingi kelompok ME (Marriage Encounter) disamping tugas utama beliau sebagai rektor Seminari Tinggi. Dalam hal ini, tampak sekali usaha beliau dalam melibatkan kaum awam bagi pembinaan calon imam di Seminari Tinggi. Selain itu, muncul pemahaman baru tentang pastoral imam yakni tidak hanya dibatasi pada pelayanan parokial tetapi juga membuka perhatiannya pada pelayanan kategorial. Dengan melibatkan kaum awam dalam pembinaan para calon imam diosesan dan membuka pada pelayanan kategorial, suasana pembinaan calon imam pada masa ini telah membuka wacana tentang pembinaan calon imam diosesan yang peka zaman. Hal ini berarti bahwa pembinaan calon imam tidak lepas dari realitas zaman yang akan menjadi medan pastoral dan pelayanan para imam tersebut.

Konteks peristiwa saat itu diwarnai dengan dibukanya Tahun Orientasi Rohani Wisma Sanjaya Jangli tahun 1981. Pada tahun itu juga, Rm. Justinus Kardinal Darmoyuwono mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Semarang. Untuk pejabat uskup ditetapkan Romo Alexander Jayasiswaya. Setahun kemudian, Keuskupan Agung Semarang mendapatkan uskup baru yakni Mgr. Yulius Darmaatmadja, SJ. Mulai saat itulah bergulir pemikiran di antara para staf tentang pembinaan calon imam yang kontekstual dengan Keuskupan. Lalu, pemikiran ini membuka wacana bahwa bukan hanya paroki yang harus dilayani oleh para imam diosesan, melainkan juga pelbagai bidang seperti: bidang sosial, kateketik, liturgi, pembinaan kaum muda dan keluarga, serta pelbagai lembaga sosial masyarakat lainnya.

Selain itu, menurut Romo Theo (begitu biasanya beliau dipanggil) prinsip yang harus dipegang oleh seorang pemimpin adalah keterbukaan dan kejujuran. Dua hal ini diharapkan dapat menumbuhkan intimitas persaudaraan yang tulus. Dengan demikian, para calon imam diajak untuk terus menerus mau belajar, baik melalui jalur akademis maupun melalui perjumpaan dengan umat. Lebih lanjut, para calon imam ini diajak untuk selalu berefleksi dalam mengembangkan diri dan dalam pengalaman hidup rohani pribadi.

d. Rm. Julianus Sunarka, SJ (1986-1990)

Pembinaan calon imam diosesan yang mulai terbuka pada pastoral kategorial semakin terasa ketika Rm. J. Sunarka, SJ menggantikan Rm. Theodorus Prajitno, SJ. Hal ini tampak dalam kesadaran bahwa dalam pelayanan pastoral paroki pun mengandung unsur-unsur tersebut (pelayanan kategorial). Nuansa ini amat terasa karena didorong oleh uskup baru yang menghendaki kehidupan Gereja lebih memasyarakat. Unsur-unsur sosial kemasyarakatan dalam kehidupan jemaat mestinya juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan kehidupan rohani, pribadi, intelektual, dan pastoral.

Pada masa Rm. J. Sunarka, SJ menjabat rektor, Seminari Tinggi masih dihuni oleh pelbagai calon imam dari berbagai keuskupan, diantaranya adalah: Keuskupan Agung Jakarta, Medan, Palembang, Padang, Pangkalpinang, dan Purwokerto. Selain itu, suster-suster Abdi Kristus mulai terlibat dalam pembinaan para calon imam di Seminari Tinggi. Meskipun pelayanan suster-suster itu terbatas pada rumah tangga dan tata boga, tetapi kehadiran suster-suster itu turut memberi suasana baru bagi kehidupan Seminari Tinggi. Di kalangan staf sendiri, Rm. Sunarka adalah seorang komunikator yang baik. Kerjasama antar staf terjalin baik dengan rapat-rapat yang teratur, terencana, dan terarah sehingga ada waktu untuk saling berwawan hati demi kepentingan pengembangan pembinaan para calon imam.

Secara khusus, Rm. Sunarka menekankan perlunya visi imamat dan keterbukaan dalam pembinaan calon imam. Visi imamat itulah yang hendaknya dapat dimiliki oleh para calon imam dan para pendamping. Dengan demikian, visi imamat ini menjadi nilai pokok pribadi para calon imam. Visi imamat ini tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual, emosional, dan menyangkut perilaku pribadi dan sosial. Maka, setiap rektor kiranya perlu meniti sejauh mana olah holistik yang menyangkut matra-matra tersebut dicermati oleh si formandi. Sedangkan dari sisi formandi, keterbukaan dan kejujuran dari formandi amat ditekankan dalam rangka membentuk visi imamat ini.

e. Rm. Yohanes Chrisostomus Purwawidyana, Pr (1990-1997)

Sebagai rektor, Rm. Purwawidyana tetap mempertahankan keanekaragaman para pembina di Seminari Tinggi. Keterlibatan para romo, bruder Yesuit, suster-suster Abdi Kristus, dan romo diosesan terjalin semakin erat dan seimbang demi pembinaan calon imam yang semakin berkualitas. Suasana yang amat terasa selama Rm. Purwa menjabat sebagai rektor adalah suasana intelektual. Ini tampak dari tuntutan diselesaikannya skripsi sebagai syarat menerima tahbisan diakonat dan imamat. Syarat ini tidak hanya ingin menekankan pembinaan intelektual saja tetapi juga merupakan pembinaan kepribadian para calon imam di zaman baru. Disadari betul bahwa zaman ini memerlukan rohaniwan yang benar-benar memiliki semangat belajar yang tinggi dan intelektual yang bertanggung jawab. Semangat pembinaan calon imam dengan nuansa intelektual ini hendak menjawab tantangan nyata bagaimana seorang rohaniwan yang cendekiawan itu menjadi pewarta di tengah dunia yang tunggang langgang (runaway world).

Pada masa rektorat Rm. Purwawidyana ini, dibangun Wisma Petrus yang pertama-tama digunakan oleh para imam yang sudah purna karya. Wisma ini diresmikan pada tanggal 2 Juli 1991 tepat pada pesta perak imamat romo rektor ini. Kini, Wisma Petrus digunakan oleh romo-romo diosesan Keuskupan Agung Semarang dan Purwokerto yang mendapat tugas studi lanjut di universitas di Yogyakarta.

f. Rm. Yohanes Pujasumarta, Pr (1997-1998)

Pada tahun 1997, Rm. Purwawidyana, Pr menyelesaikan tugasnya sebagai rektor Seminari Tinggi dan digantikan oleh Rm. Y. Pujasumarta, Pr. Sebelum menjabat sebagai rektor, Romo Puja ini adalah rektor Tahun Orientasi Rohani para frater diosesan Keuskupan Agung Semarang di Wisma Sanjaya Jangli, Semarang. Pada waktu beliau diangkat sebagai rektor Seminari Tinggi, Keuskupan Agung Semarang baru mendapatkan uskup baru, setelah Mgr. Yulius Darmaatmadja dipindahtugaskan menjadi uskup Keuskupan Agung Jakarta, yakni Mgr. Ignatius Suharyo, Pr yang sebelumnya selama 14 tahun menjadi anggota staf Seminari Tinggi dan dosen Tafsir Kitab Suci.

Sejak awal masa rektoratnya, Rm. Pujasumarta menyadari pentingnya membangun mutu kepribadian para calon imam yang kelak akan menjadi gembala para umat. Salah satu hal yang dikembangkan untuk memupuk kepribadian tersebut adalah membangun kehidupan yang didasarkan atas persaudaraan yang sejati, tulus, dan ikhlas. Sebagai langkah awal, Rm. Puja mengajak anggota staf mencermati kembali bagaimana arah dan kebijakan pembinaan calon imam ini dapat dikembangkan. Lalu, Rm. Puja mengajak segenap warga Seminari untuk meneladan semangat St. Paulus pelindung Seminari Tinggi ini. Semangat itu dirumuskan sebagai visi dan misi pembinaan Seminari Tinggi selanjutnya.

Rm. Pujasumarta menjabat rektor hanya selama satu tahun karena beliau diangkat menjadi Vikaris Jendral Keuskupan Agung Semarang. Meski begitu singkat, secara visioner, beliau memberikan arah yang kuat bagi masa depan pengembangan hidup calon imam. Calon imam diharapkan menjadi pelayan jemaat yang handal dan tangguh, baik secara rohani, pribadi, intelektual, dan pastoral.

g. Mgr. Valentinus Kartasiswaya, Pr (1998-2004)

Setelah Rm. Pujasumarta diangkat menjadi Vikjen Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Valentinus Kartasiswaya, Pr diangkat menjadi rektor Seminari Tinggi pada tahun 1998. Sebelumnya, selama 13 tahun beliau bertugas menjadi sekretaris eksekutif KWI. Setelah masa tugas beliau di KWI selesai, maka Romo Karta bersedia menjadi rektor Seminari Tinggi. Pada masa rektorat Mgr. Karta ini, suasana pembinaan calon imam masih melanjutkan visi misi sebelumnya. Meskipun demikian, visi misi itu semakin jelas terumuskan dalam ‘Visi Misi Pendidikan dan Garis Besar Tata Hidup Bersama’ setelah peringatan Tumbuk Ageng Seminari Tinggi tahun 2000. Dalam visi misi pendidikan itu mulai tampak suatu gambaran cita-cita imamat yang dapat menjawab kenyataan zaman. Secara lebih khusus, pendidikan para calon imam ini ditempatkan dalam kerangka pembangunan dan pengembangan Gereja di Keuskupan Agung Semarang dan Indonesia. Sebagai point-point pendampingan, para calon imam itu diharapkan dapat melatih diri terus menerus untuk menjadi diri dengan kepribadian yang dewasa, kerohanian yang mendalam, intelektualitas yang bertanggung jawab, serta kemampuan pastoral yang handal.

Mgr. Kartasiswaya menjabat rektor Seminari Tinggi selama 6 tahun (1998-2004). Dalam rentang waktu itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pada masa dipimpin oleh Mgr. Kartasiswaya dibangunlah Wisma Vianney bagi para romo yang meneruskan studi Licensiat di Fakultas Teologi Wedabhakti. Wisma Vianney selesai dibangun pada bulan Agustus 1999.

Selain itu, menurut Mgr. Karta, imam yang dibutuhkan pada masa kini dan masa yang akan datang adalah imam yang commited terhadap panggilannya. “Commited” berarti mau dengan rela menyerahkan diri kepada Allah yang memanggilnya karena tergerak akan cinta. Selain commited terhadap panggilannya, seorang romo hendaknya memiliki kemampuan dan semangat intelektual yang memadai. Ia hendaknya memiliki semangat belajar, yaitu memiliki keinginan untuk berkembang dan diperkembangkan. Pada masa rektorat beliau, semangat commited dan mau untuk belajar terus-menerus sungguh diungkapkan dalam kebijakan-kebijakan beliau demi pembinaan calon imam yang peka zaman.

h. Rm. Florentinus Hartosubono (2004- sekarang)

Pada tahun 2004, Mgr. Kartasiswaya, Pr dipindahtugaskan menjadi romo pembantu paroki di paroki Kidul Loji dan digantikan oleh Rm. Fl. Hartosubono, Pr. Romo Bono sebelum menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi adalah romo rektor Tahun Orientasi Rohani Wisma Sanjaya Semarang. Pada masa awal rektoratnya, Romo Bono menghadapi beberapa perubahan tahap pendampingan para frater. Perubahan itu adalah diterapkannya kembali proses TOP (Tahun Orientasi Pastoral) setelah para frater memperoleh S-1 Filsafat Teologi. Program ini diterapkan bagi para frater yang masuk ke Seminari Tinggi Kentungan mulai tahun 2002. Problem yang dihadapi beliau dan para staf adalah tentang tempat para frater yang terbatas karena adanya perubahan tahap pembinaan tersebut. Praktis tahun perkuliahan 2005/2006 tidak ada TOP dan para frater yang tinggal di Seminari Tinggi semakin banyak (Tingkat I, II, III, IVA [yang seharusnya TOP], IVB, V, dan tingkat VI). Lalu, pada awal tahun perkuliahan, muncul kebijakan bahwa para frater tingkat V untuk sementara meminjam Wisma OMI di Blotan sebagai rumah pembinaan selama 1 tahun.

Dalam proses pembinaan calon imam, Romo Bono masih melanjutkan fokus pembinaan yang telah berjalan. Di samping itu, mulai ditekankan pula semangat untuk terlibat secara penuh dengan gerak keuskupan. Dalam rangka terlibat penuh pada gerak keuskupan itu, Seminari Tinggi menjadikan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (Ardas KAS) sebagai salah satu visi yang selalu mendapat tekanan dalam pendidikannya. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembinaan yang mengarahkan para calon imam untuk memiliki semangat taat asas, berkompeten (profesional), dan selalu terbuka terhadap on going formation imam-imam diosesan.

Penutup: Seminari Tinggi Menatap Masa Depan

Selama kurun waktu 70 tahun ini, Seminari Tinggi telah mengalami berbagai macam gerak dinamika proses pembinaan para calon imam. Dengan mewarisi dan merefleksikan sejarah peziarahan dalam mendidik para calon imam dari perspektif kebijakan rektor-rektor ini, Seminari Tinggi hendak menatap masa depan Gereja Indonesia yang mandiri. Cita-cita ini hendaknya selalu mengarahkan segenap umat beriman untuk mau terlibat aktif dalam mengembangkan Gereja dengan selalu menghidupkan dan mendukung panggilan imamat. Tongkat estafet pewartaan Injil bagi umat manusia di segala tempat dan segala zaman harus senantiasa diteruskan. Semoga dengan selalu belajar dan terbuka pada penyelenggaraan-Nya, pendidikan imam dapat memformat para calon imamnya untuk semakin menghayati imamatnya secara kontekstual dalam rangka menghadirkan Kristus, yakni kepenuhan Kerajaan Allah di sepanjang zaman.

KONGRES EKARISTI I KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

27 Juni 2008 s/d 29 Juni 2008 di Gua Maria Kerep Ambarawa


Di Betsaida, Yesus melihat banyak orang lapar karena mengikuti Dia untuk mendengarkan sabda-Nya yang mencerahkan. Bagaimana memberi makan kepada leibh dari 5.000 orang banyaknya? Lalu seorang ibu menyuruh anaknya membawa lima roti dan dua ikan kepada Yesus. Yesus kemudian mengambil roti dan ikan itu, mengucap syukur, membagi-bagikannya kepada mereka, sebanyak yang mereka kehendaki. Gerakan berbagi lima roti dan dua ikan ini tercermin dalam Ekaristi. Yesus memberikan diri-Nya. Ia memberikan tubuh-Nya untuk dimakan. Ia mencurahkan darah-Nya untuk diminum. Peristiwa pemberian diri Yesus untuk keselamatan dunia, selalu dihadirkan kembala setiap kali Ekaristi dirayakan. Dalam kutipan Yohanes 6:53-54 Yesus berkata, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, jika kamu tidak makan daging Putra Manusia dan tidak minum darah-Nya, kamu tidak memiliki hidup dalam dirimu. Orang yang makan daging-Ku dan minum darah-Ku akan hidup sampai kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.”
Dalam perayaan Ekaristi setiap orang Katolik dipanggil dan diutus untuk meneruskan gerakan berbagi lima roti dan dua ikan, agar menjadi berkat bagi yang lain. Maka pemahaman dan penghayatan akan Ekaristi sendiri menjadi kunci dasarnya. Pada tanggal 27 s.d. 29 Juni 2008 akan diselenggarakan Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang di wilayah Gua Maria Kerep Ambarawa. Lebih jauh tentang Kongres Ekaristi ini berikut penjelasan dari Rm. Johanes Pujasumarta, Pr. Beliau adalah Vikaris Jendral Keuskupan Agung Semarang.

 

APA ITU KONGRES EKARISTI? DAN APA YANG MELATARBELAKANGI PENYELENGGARAANNYA?

Kongres Ekaristi:
Kongres, berasal dari bahasa Latin “congredior-congressus sum”. Istilah tersebut merupakan gabungan dari kata “cum” – “gradior” (gradior-gressus sum): artinya melangkah, berjalan, pergi, maju bergerak; dengan demikian “congredior” artinya: maju bergerak bersama untuk berhimpun. Dalam kata itu terkandung adanya gerakan bersama untuk berhimpun.
Ekaristi: berasal dari bahasa Yunani ευχαριστω, artinya bersyukur dan berterima kasih. Dengan pengertian tersebut Kongres Ekaristi kita artikan sebagai peristiwa umat bergerak bersama untuk berhimpun dengan tujuan bersyukur dan berterimakasih atas Allah yang telah mengasihi manusia dan seluruh dunia, yang ditandakan dalam pemberikan diri Putera-Nya Yesus Kristus agar manusia dan seluruh dunia diselamatkan.
Menurut cakupan wilayahnya Kongres Ekaristi dapat dilaksanakan secara internasional. Disebut Kongres Ekaristi Internasional, karena melibatkan umat Katolik seluruh dunia untuk berhimpun di suatu tempat. Dapat juga dilaksanakan secara nasional. Disebut Kongres Ekaristi Nasional, karena melibatkan umat Katolik dalam suatu negara. Ada juga Kongres Ekaristi lokal, disebut juga Kongres Ekaristi Keuskupan, karena melibatkan umat Katolik dalam suatu Keuskupan. Kongres Ekaristi Keuskupan inilah yang akan kami selenggarakan sebagai yang pertama di Keuskupan Agung Semarang.


YANG MELATARBELAKANGI KONGRES EKARISTI KEUSKUPAN I KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG DAPAT DILIHAT DARI DUA FAKTOR?

Faktor INTERNAL:
1. Dinamika hidup rohani umat Katolik Keuskupan Agung Semarang sendiri yang semakin menampakkan kasihnya kepada Tuhan Yesus yang selalu memberikan diri-Nya dalam perayaan Ekaristi, yang selalu hadir dalam Sakramen Mahakudus. Tahun 2007 yang lalu ditandai dengan dimulainya Adorasi Ekaristi Abadi, suatu devosi umat untuk berjaga dan berdoa selama 24 jam sehari 7 hari seminggu. Di tengah umat muncul habitus untuk mengadakan adorasi Ekaristi pada kesempatan-kesempatan tertentu.
2. Dan pada tahun 2008 ini Keuskupan Agung Semarang bersyukur atas ulangtahunnya yang ke 68. Tepatnya tanggal 25 Juni 2008 umat Keuskupan Agung Semarang merayakan ulangtahunnya yang ke 68.
3. Searah dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2006-2010 kita umat Allah Keuskupan Agung Semarang dalam bimbingan Roh Kudus ingin “semakin menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus yang mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan (bdk. Luk 4: 18–19). Mewujudkan Kerajaan Allah berarti bersahabat dengan Allah, mengangkat martabat pribadi manusia, dan melestarikan keutuhan ciptaan.” Itulah roh yang menjiwai hidup dan segala kegiatan pastoral yang kami laksanakan dalam mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan.
Faktor EKSTERNAL: diselenggarakannya Kongres Ekaristi Internasional ke-49 di Quebeq Canada pada tanggal 15-22 Juni 2008, yang diadakan empat tahun sekali. Kami berharap setiap kali diselenggarakan Kongres Ekaristi Internasional, Keuskupan Agung Semarang juga menyelenggarakan Kongres Ekaristi Keuskupan I, II, dan seterusnya.


TEMA KONGRES EKARISTI INI: “BERBAGI LIMA ROTI DAN DUA IKAN”, APA MAKNANYA?

Tema Kongres Ekaristi Keuskupan I adalah “Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan”, berkaitan dengan Arah Dasar juga, sesuai dengan fokus pastoral tahun 2008, yakni anak dan remaja. Ada orang mengatakan, “Satu contoh nyata lebih berdaya daripada seribu kata”. Supaya anak dan remaja terlibat untuk pengembangan umat, kami tampilkan seorang tokoh anak dari Kitab Suci, yaitu seorang anak yang oleh Yohanes, penginjil itu, dikenal oleh Andreas mempunyai lima roti dan dua ikan. Dari anak tersebut kita dapat belajar makna berbagi. Persembahan tulus dari seorang anak, setelah diberkati oleh Tuhan, dapat menggerakkan hati orang banyak untuk berbagi. Peristiwa itu dikenal mukjizat pergandaan lima roti dan dua ikan. Peristiwa tersebut terjadi di Betsaida. Dan dari Betsaida terjadilah gerakan berbagi, yang berpola pada tindakan Tuhan Yesus yang memberikan diri-Nya sendiri demi keselamatan manusia dan seluruh dunia. Dari Betsaida gerakan itu meluas ke seluruh dunia, diperbarui setiap kali Ekaristi dirayakan.

APA SAJA AKTIVITAS DALAM KONGRES EKARISTI NANTI?

Aktivitas dalam Kongres Ekaristi nanti dalam dilihat dari berbagai perspektif. Dari perspektif waktu: ada aktivitas sebelum Kongres, selama Kongres dan setelah Kongres.
1. Sebelum Kongres Ekaristi kami membicarakan gagasan rencana menyelenggarakan Kongres Ekaristi dalam Rapat Pleno Dewan Karya Pastoral Keuskupan Agung Semarang, tanggal 8-10 Oktober 2007. Setelah disepakati kami mematangkan konsep Kongres Ekaristi itu, bersumber dari pengalaman Kongres Ekaristi yang telah diselenggarakan di negara-negara lain. Kemudian melengkapi dengan membentuk Panitia Kongres, dan kemudian mengadakan sosialisasi mengenai Kongres Ekaristi tersebut.
Untuk itu diadakan suatu gerakan umat, yang kami sebut dengan “Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan”, suatu gerakan solidaritas yang berbekal pada kemampuan yang ada, swadaya, melalui gerakan-gerakan sederhana dalam berbagai dimensi, yang meliputi dimensi rohani, dimensi etis-moral, serta dimensi sosial kemasyarakatan dan ekologis kosmik, searah dengan roh Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang yang dirumuskan dengan “mewujudkan Kerajaan Allah dengan bersahabat dengan Allah, mengangkat martabat pribadi manusia dan melestarikan keutuhan ciptaan”.
2. Selama Kongres Ekaristi akan diselenggarakan berbagai aktivitas. Jumat, 27 Juni 2008: Misa Pembukaan bersama umat dan Prosesi Sakramen Mahakudus dari Gereja Ambarawa menuju Gua Maria Kerep. Sabtu, 28 Juni 2008: pertemuan/seminar para utusan paroki, komunitas, kelompok dan panggung kreasi/pentas. Minggu, 29 Juni 2008: Perayaan Puncak Ekaristi di Gua Maria Ambarawa, bersama umat.
Selama Kongres berlangsung di Ambarawa kami menganjurkan umat mengadakan adorasi Ekaristi dari tanggal 27-29 Juni 2008. Diusahakan sehari atau sesuai dengan situasi tempat/paroki. Selama itu pula hendaknya diadakan penerimaan sakramen tobat. Kevikepan diharapkan mengadakan sarasehan/seminar tentang Ekaristi. Waktunya mengambil salah satu hari dari tanggal 27-29 Juni 2008.
3. Setelah Kongres Ekaristi diharapkan Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan dilaksanakan terus, dan bahkan dikembangkan. Misalnya persahabatan dengan Allah diupayakan dengan semakin cinta pada Ekaristi dengan merayakannya (harian dan Minggu), mengangkat martabat pribadi manusia dengan menghargai anak dan remaja, melibatkan mereka untuk pengembangan umat, melestarikan keutuhan ciptaan dengan mengembangkan upaya-upaya menghadapi bahaya pemanasan global, misalnya mendukung gerakan mengubah sampah menjadi berkah (Tema APP 2008).

SIAPA YANG DIHARAPKAN TERLIBAT?

Kongres itu merupakan perisitiwa iman umat. Maka, diharapkan seluruh umat terlibat. Karena itu, sementara diselenggarakan Kongres terjadi di Kerep Ambarawa, umat setiap paroki di wilayah Keuskupan Agung Semarang juga mengadakan aktivitas serupa sesuai dengan keadaan paroki. Kongres di Ambarawa paling-paling akan melibatkan kurang lebih 800 orang. Peserta Kongres adalah wakil dari paroki 5 orang (2 dewasa dan 3 anak-remaja), dan beberapa wakil dari kelompok kategorial, seperti kelompok-kelompok doa, dll, serta Panitia sendiri, sesuai dengan kapasitas tempat dll.


BAGAIMANA SOSIALISASI KONGRES EKARISTI INI DILAKUKAN?

Ketika kami bicarakan rencana Kongres Ekaristi ini pada berbagai pihak kami menangkap ada anthusiasme yang sungguh mengagumkan, yang tidak kami duga sebelumnya.
Penerbit dan Percetakan Kanisius, misalnya, dengan cepat menangkap peristiwa iman sebagai suatu peluang untuk terlibat melalui bidang multimedianya dengan menerbitkan buku-buku, melengkapinya dengan VCD, dan sarana-sarana pendukung lainnya. Pada waktu Temu Pastoral selama bulan Januari 2008 bahan-bahan tersebut telah dapat kami sajikan pada para peserta Temu Pastoral, agar disampaikan kepada umat. Tayangan tentang Kongres Ekaristi dalam Penyenjuk Imani Katolik di Indosiar ini merupakan bagian dari upaya tersebut.
Fakultas Teologi Wedhabakti Universitas Sanata Dharma mendukung dengan mengadakan Kursus Teologi untuk umat, sepuluh kali dengan berbagai macam tema, mendalami Ekaristi dari berbagai dimensi.


KURSUS TEOLOGI untuk Umum
MENYAMBUT KONGRES EKARISTI KEUSKUPAN I
KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG, 27 – 29 JUNI 2008
Oleh para Dosen Fakultas Teologi, USD
Didukung oleh Mission Identity Univ. Sanata Dharma
TEMA UMUM: EKARISTI – BERBAGI LIMA ROTI DAN DUA IKAN

  • Waktu: pada hari Kamis, jam 16.30 – 18.30, tanggal-tanggal lihat di jadwal, pokoknya antara Feb – Mei 2008, sebelum Kongres Ekaristi Keuskupan I KAS
  • Tempat: di Mrican USD (Universitas Sanata Dharma) Yogyakarta
  • Peserta: Para dosen dan karyawan USD dan PT lainnya, juga terbuka utk UMUM
  • Usulan paper-paper dibukukan dan dipersembahkan untuk KEK I KAS bulan Juni 2008. Kalau bisa paper-paper telah selesai ditulis pada akhir Januari 2008.

 

JADWAL KURSUS TEOLOGI

  • 21 Februari 2008: Tradisi Paskah Yahudi dan Perayaan Ekaristi, Oleh : Dr. A. Hari Kustono Pr
  • 28 Februari 2008: Ekaristi dan Kekudusan Allah (tinjauan teologi PL), oleh: Dr. V. Indra Sanjaya Pr
  • 6 Maret 2008: Ekaristi – Roti Hidup bagi Orang-orang Tertindas (perspektif teologi pembebasan), oleh Dr. J. Hartono Budi SJ
  • 13 Maret 2008: Ekaristi dalam Diskusi Ekumenis, oleh: Dr. M. Purwatma Pr
  • 3 April 2008: Ekaristi dalam Tinjauan Yuridis-Liturgis, oleh: Dr. R. Rubiyatmoko Pr
  • 10 April 2008: Yesus - Roti Hidup. Refleksi teologis Injil Yohanes, oleh: St. Eko Riyadi Lic.SS. Pr
  • 17 April 2008: Inkulturasi Ekaristi dan Devosi Ekaristi, oleh: Dr. E. Martasudjita Pr
  • 24 April 2008: Hidup yang ekaristis di tengah arus zaman modern (Spiritualitas Ekaristi), oleh: Dr. Prasetyantha MSF
  • 8 Mei 2008: Ekaristi dalam pengembangan hidup jemaat (perspektif pastoral), oleh: Dr. St. Gitowiratmo Pr
  • 15 Mei 2008: Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan. (Dimensi sosial Ekaristi), oleh Dr. J. Pujasumarta Pr


Beberapa kelompok umat teritorial maupun kategorial menanggapi Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan dengan berbagai tindakan konkrit. Misalnya suatu Kelompok Kursus Kitab Suci setelah mendengar narasi tentang Gerakan Berbagi, lalu mencari terobosan-terobosan yang mungkin dilakukan untuk berbagi pula dengan mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Suatu kelompok umat lalu berniat ingin membangun jembatan antara orang kaya dan Lazarus, orang miskin yang makan remah-remah dari meja orang kaya itu. Apa wujudnya saya belum tahu.
Seluruh umat diajak untuk berdoa secara khusus untuk Kongres Ekaristi, dengan mengadakan Novena pada hari Minggu, 9 kali sebelum Kongres diselenggarakan, dimulai pada tanggal 27 April 2008. Sebelum Kongres pula kami mengajurkan agar pada 24-25 Mei pada hari Tubuh dan Darah Kristus, paroki-paroki mengadakan Adorasi Ekaristi.
Kami berharap agar sungguh-sungguh terjadi suatu gerakan rohani umat untuk semakin cinta pada Ekaristi.


CAPAIAN SEPERTI APA YANG DIHARAPKAN SETELAH KONGRES EKARISTI SELESAI DILAKSANAKAN?

Setelah Kongres Ekaristi selesai dilaksanakan kami berharap umat Katolik semakin cinta Ekaristi, artinya semakin cinta Yesus yang sekarang ini pun hadir dalam hati manusia, dalam peristiwa-peristiwa dunia, tetap bekerja demi keselamatan umat manusia dan alam semesta.
Dengan demikian umat Katolik menjadi berkah bagi masyarakat, terutama mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Kesaksian hidup almarhumah Bunda Teresa dari Kolkota sangatlah mengesankan. Berkat pengalaman hidup dari Ekaristi, Bunda Teresa menjadi mampu untuk menemukan Yesus, dalam diri mereka yang disebutnya “the poorest among the poor”, yang termiskin dari yang miskin.


APA YANG HARUS DISIAPKAN OLEH UMAT MENYAMBUT ADANYA KONGRES EKARISTI INI?

Sebagai peristiwa iman umat Kongres Ekaristi ini kami harapkan menjadi “magic moment”, suatu peristiwa yang sungguh mengesan bagi umat, sehingga mampu membarui hidup beriman umat. Karena itu umat kami harapkan bersedia memahami maksud Kongres Ekaristi itu dengan Gerakan Berbagi-nya. Banyak sarana dapat dimanfaatkan untuk memahami maksud itu. Bila terjadi pemahaman yang mendalam diharapkan Ekaristi semakin dicintai, dan dengan demikian kesediaan berbagi menjadi terwujud dalam berbagai bentuknya. Agar terjadi pemahaman mendalam itu kami mengajak umat untuk berdoa bagi terselenggaranya Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang pada tanggal 27-29 Juni 2008 nanti.

MATERI ATAU BAHAN-BAHAN APA YANG YANG BISA MENDUKUNG ATAU DIBUTUHKAN UMAT?


Penerbit Kanisius telah menerbitkan buku-buku:
1.Tentang Ekaristi, E. Martasudjita, Pr
2.Kongres Ekaristi, E. Martasudjita, Pr
3.Ekaristi, Berbagi 5 Roti dan 2 Ikan, J. Pujasumarta, Pr
Buku-buku tersebut dilengkapi dengan VCD.
Kecuali itu telah juga diterbitkan kartu doa, yang memuat doa resmi Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang.
Bahan-bahan tersebut dapat digunakan untuk oleh umat untuk mendukung Kongres Ekaristi Keuskupan nanti.


Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan, berawal dari Betsaida, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Gerakan ini diharapkan dapat menjadi milik kita bersama. Bukan hanya di Betsaida, ditemui banyak orang kelaparan, namun di banyak tempat di sekitar kita hingga sekarang. Sudahkah kita memiliki semangat untuk berbagi?

LOGO KONGRES EKARISTI I KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

image Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang merupakan peristiwa iman seluruh umat Keuskupan Agung Semarang. Searah dengan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010 fokus pastoral tahun 2008 adalah membangun habitus baru bersama: dalam diri anak dan remaja agar terlibat untuk pengembangan umat.


Agar anak dan remaja terlibat dalam pengembangan umat ditampilkan tokoh Kitab Suci, yaitu seorang anak, yang disebut oleh penginjil Yohanes, mempunyai lima roti dan dua ikan. Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki (bdk. Yoh 6: 1-15).


Pada logo digambarkan lima roti. Sebuah roti utuh di tengah melambangkan Yesus Roti Hidup. 4 potongan roti digambar dengan 4 warna: kuning, ungu, hijau, merah. 4 warna menerangkan warna-warna liturgis. Sepanjang tahun liturgi umat merayakan iman dengan santapan Sabda dan Ekaristi.


Dua ikan digambarkan bersatu, untuk melambangkan persatuan Kristus dengan umat-Nya. IKAN dalam bahasa Yunani IKHTHYS, kependekan dari Iesous Khristos Theou Yios Soter, artinya Yesus Kristus Putera Allah Penyelamat. Dengan persatuan dalam komuni kudus setiap murid Kristus diharapkan semakin menyerupai Kristus, dan dengan demikian membangun Gereja sebagai persekutuan umat beriman.


Kongres Ekaristi Keuskupan I Keuskupan Agung Semarang diselenggarakan pada tanggal 27 – 29 Juni 2008 di Gua Maria Kerep Ambarawa, dengan tema “EKARISTI: BERBAGI LIMA ROTI DAN DUA IKAN”. Dengan mendalami tema tersebut seluruh umat diharapkan semakin bergairah untuk terlibat dalam Gerakan Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan, baik dengan mengungkapkan iman dalam liturgi Ekaristi maupun dengan mewujudkannya dalam tindakan berbagi.

DOA RESMI KONGRES EKARISTI I KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG

EKARISTI, BERBAGI LIMA ROTI DAN DUA IKAN

Allah Bapa yang mahamurah,
kami bersyukur atas Ekaristi, tanda nyata hidup-Mu
yang Engkau bagikan kepada kami, umat-Mu.
Berkatilah kami yang sedang mempersiapkan
Kongres Ekaristi Keuskupan yang pertama
pada bulan Juni 2008 nanti.
Semoga kami menjadi lebih baik
dalam merayakan dan menghayati Ekaristi
sebagai pemberian hidup-Mu
melalui Yesus Kristus Putra-Mu.
Curahkanlah Roh Kudus-Mu
agar berkat Ekaristi Kudus
kami mampu melanjutkan
gerakan berbagi lima roti dan dua ikan pada zaman ini
dengan ambil bagian dalam gerakan solidaritas
yang berdaya dalam masyarakat kami.
Bersama Bunda Maria, Bunda Ekaristi Kudus,
dampingilah anak dan remaja kami
secara khusus pada tahun 2008 ini
agar mereka semakin terlibat
dalam pengembangan umat,
dan kami pun semakin pantas
menjadi saksi Ekaristi,
saksi atas hidup yang dibagikan bagi sesama.
Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami. Amin.

 

image

Jalan menuju imamat

IMG_0780 

Imam Diosesan

Imam Diosesan? Apaan tuh?

Imam diosesan adalah imam yang mengikatkan diri seumur hidup untuk melayani jemaat Keuskupan yang dipimpin oleh Uskup. Kata dioses berarti keuskupan. Imam diosesan adalah pembantu langsung uskup atau biasa disebut imamnya uskup. Sebutan lain imam diosesan adalah imam praja (projo) karena mereka melayani Gereja setempat. Sebutan 'Pr' di belakang nama imam dioses bukan singkatan dari 'praja' melainkan presbyterium, yakni tanda bahwa dia adalah seorang imam. Imam diosesan KAS adalah imam yang melayani jemaat Keuskupan Agung Semarang yang saat ini dipimpin oleh Mgr. I. Suharyo.

Dasar Hidup dan Cita -cita

Imam diosesan mendasarkan hidupnya pada pribadi Yesus. Yesus sebagai panutan utama imam diosesan bukan santo atau santa tertentu. Maka para imam berusaha meneladan pribadi Yesus dalam doa dan karya .

Lalu Apa yang Khas dari Imam Diosesan?

Kekhasan Imam diosesan adalah tetap menjadi anggota / bagian dari keluarga meskipun sudah menjadi pastor. Asyik kan?

Bidang Pelayanannya Apa Saja?

Kegembalaan Umum: Uskup, Vikaris Jendral (Vikjen), Vikaris Episkopalis (Vikep)

Parokial : Pastor Paroki

Pendidikan: Dosen Perguruan Tinggi, Yayasan persekolahan, pedidik dalam pendidikan calon imam Seminari Menengah Mertoyudan, Seminari Tahun rohani, Seminari Tinggi St. Paulus

Komisariat: Komisi-komisi yang ada di Keuskupan Agung Semarang, seperti kepemudaan, Komunikasi Sosial, Sosial Ekonomi, dll.

Budaya: Penulis

Missioner: menjadi missionaris domestik di KWI, dan keuskupan-keuskupan lain seperti medan, Ketapang, dll.

Daerah Karya

Terutama daerah Keuskupan Agung Semarang dan keuskupan lain sejauh diutus.

Jalur Pendidikan?

Jenjang Pendidikan

Tahun Rohani : 1 th

Pendidikan Filsafat : 4 th

Tahun Orientasi Pastoral : 1 th

Teologi Bakalaureat : 1 th

Profesi Imamat : 1 th atau Magister Teologi /Lisensiat : 2 th

Syarat - syarat Penerimaan Calon

Pastinya tertarik menjadi imam diosesan

Laki-laki tulen dan beragama Katolik

Sekurang-kurangnya mempunyai ijasah Sekolah Menengah Tingkat Atas: SMU, SMK, D1, D2, dan D3. Sangat welcome untuk tingkat Sarjana.

Surat baptis dan surat Penguatan (krisma)

Surat keterangan/ rekomendasi dari pastor paroki calon

Surat keterangan berkelakuan baik dari pemerintah

Surat ijin orang tua calon

Daftar Riwayat Hidup

dll yang diterangkan waktu melamar.

 

IMG_4211

 Tahbisan Diakon 2008

 

 

Permohonan Gadis kecil

Gadis Cilik yang Berani Memohon Ketika Amy Hagadorn berjalan melewati sebuah sudut di lorong dekat kelasnya, ia berpapasan dengan seorang anak laki-laki jangkung siswa kelas lima yang berlari dari arah berlawanan. "Pakai matamu, Bodoh," maki anak laki-laki itu, setelah berhasil berkelit dari murid kelas tiga bertubuh kecil yang hampir ditabraknya. Kemudian, dengan mimik mengejek, anak laki-laki itu memegang kaki kanannya dan berjalan menirukan cara berjalan Amy yang pincang. Amy memejamkan matanya beberapa saat. Abaikan saja dia, katanya dalam hati sambil berjalan lagi menuju ke kelasnya. Akan tetapi, sampai jam pelajaran terakhir hari itu Amy masih memikirkan ejekan anak laki-laki jangkung itu. Dan, ia bukan satu-satunya orang yang mengganggunya.


Sejak Amy mulai duduk di kelas tiga, ada saja anak yang mengganggunya setiap hari, mengejek cara bicaranya atau cara berjalannya. Kadang-kadang, walaupun di dalam kelas yang penuh dengan anak-anak, ejekan-ejekan itu membuatnya merasa sendirian. Di meja makan malam itu, Amy tidak bicara. Karena tahu ada yang tidak beres di sekolah, Patti Hagadorn dengan senang hati berbagi kabar menggembirakan dengan putrinya. "Di sebuah stasion radio ada lomba membuat permohonan Natal," kata sang ibu. "Coba tulis surat kepada Santa Klaus, siapa tahu kau memenangkan hadiahnya. Kupikir setiap anak yang mempunyai rambut pirang bergelombang di meja ini harus ikut."Amy tertawa, lalu ia mengambil pensil dan kertas. "Dear Santa Klaus," tulisnya sebagai pembuka. Ketika Amy sedang asyik membuat suratnya yang paling baik, semua anggota keluarga mencoba menebak permohonannya kepada Santa Klaus. Adik Amy, Jamie, dan ibunya sama-sama menebak bahwa yang paling mungkin diminta oleh Amy adalah boneka Barbie setinggi satu meter. Ayah Amy menebak bahwa putrinya meminta sebuah buku bergambar. Akan tetapi, Amy tidak bersedia mengungkapkan permohonan Natal-nya yang rahasia.


Di stasiun radio WJLT di Fort Wayne, Indiana, suat-surat yang datang untuk mengikuti lomba Permohonan Natal tumpah seperti air bah. Para karyawan stasiun radio dengan senang hati membaca bermacam-macam hadiah yang diinginkan oleh anak-anak laki-laki dan perempuan dari seluruh kota untuk perayaan Natal. Ketika surat Amy tiba di stasium radio itu, manajer Lee Tobin membacanya dengan cermat. "Santa Klaus yang Baik, Nama saya Amy. Saya berusia sembilan tahun. Saya mempunyai masalah di sekolah. Dapatkah Anda menolong saya, Santa? Anak-anak menertawakan saya karena cara berjalan saya, cara berlari saya, dan cara bicara saya. Saya menderita cerebral palsy. Saya hanya meminta satu hari saja yang dapat saya lewati tanpa ada orang menertawai atau mengejek saya. Sayang selalu, Amy.


Hati Lee terasa nyeri ketika membaca surat itu: Ia tahu cerebral palsy adalah kelainan otot yang tampak aneh bagi teman-teman sekolah Amy. Menurutnya ada baiknya bila semua orang di Fort Wayne mendengar tentang gadis cilik dengan permohonan Natalnya yang tidak lazim. Pak Tobin menelepon sebuat koran setempat. Keesokan harinya, foto Amy dan suratnya kepada Santa mengisi halaman depan The News Sentinel. Kisah itu menyebar dengan cepat. Surat kabar, stasiun radio, dan televisi di seluruh negeri memberitakan kisah gadis cilik di Fort Wayne, Indiana, yang hanya mengajukan sebuah permohonan sederhana, namun baginya merupakan hadiah Natal paling istimewa-satu hari tanpa ejekan. Tiba-tiba, tukang pos menjadi langganan di rumah keluarga Hagadorn. Amplop berbagai ukuran yang dialamatkan kepada Amy datang setiap hari dari anak-anak dan orang dewasa dari seluruh negeri, berisi kartu-kartu ucapan selamat berlibur dan kata-kata penghiburan.


Selama masa Natal yang sibuk itu, lebih dari dua ribu orang dari seluruh dunia mengirimkan surat persahabatan dan dukungan kepada Amy. Sebagian penulis surat itu cacat; sebagian pernah menjadi sasaran ejekan ketika kanak-kanak, tetapi tiap penulis mempunyai sebuah pesan khusus bagi Amy. Lewat kartu-kartu dan surat-surat dari orang-orang asing itu, Amy merasakan sebuah dunia penuh dengan orang-orang yang betul-betul saling peduli. Ia sadar tidak ada ejekan dalam bentuk apa pun yang akan pernah membuatnya merasa kesepian. Banyak orang berterima kasih kepada Amy atas keberaniannya mengungkapkan isi hati. Yang lain mendorongnya bertahan terhadap ejekan-ejekan dan tetap tampil dengan tengadah.


Lynn, seorang siswi kelas enam dari Texas, mengirim pesan sebagai berikut: Aku senang menjadi temanmu, dan bila kau mau mengunjungi aku, kita dapat bersenang-senang. Tidak seorang pun akan mengejek kita, karena kalau mereka demikian, kita tidak usah mendengarkan. Permohonan Amy untuk menikmati satu hari khusus tanpa ada yang mengganggu terpenuhi di sekolahnya, South Wayne Elementary School. Selain itu, setiap orang di sekolah memberikan sebuah bonus tambahan. Guru dan murid berdiskusi tentang bagaimana perasaan orang yang diejek. Tahun itu, walikota Fort Wayne secara resmi menyatakan 21 Desember sebagai Hari Amy Jo Hagadorn untuk seluruh kota. Walikota menerangkan bahwa dengan keberanian mengajukan permohonan seperti itu, Amy mengajarkan sebuah pelajaran universal. "Siapa pun," kata walikota, "ingin dan berhak diperlakukan dengan hormat, bermartabat, dan hangat."

 

www.pondokrenungan.com